Renungan Minggu: Tersalib di Antara Dua Penjahat (Penyamun). PA: Matius 27:27-44

DRAMA penyaliban Yesus dimulai dari rencana pembunuhan yang dalangnya justru adalah para imam kepala dan ahli Taurat. Didasari rasa iri dan dengki terhadap popularitas Yesus, mereka bersekongkol dengan orang dalam, yaitu murid Yesus sendiri, yang bernama Yudas Iskariot.
Dalam skenario itu, Yesus harus menjalani dua pengadilan. Pertama Pengadilan Agama (Mahkamah Agama), dan Kedua, Pengadilan Hukum Pemerintahan Romawi. Karena saat itu bangsa Yehuda/Israel dibawa jajahan kekaisaran Roma.
Baik di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Pemerintah tidak ada bukti bahwa Yesus patut dihukum mati. Mereka menuduh Dia sebagai penista agama, karena mengaku sebagai Anak Allah dan akan merobohkan Bait Allah dan dalam tiga hari akan membangunnya kembali. Mereka juga menghadirkan saksi-saksi dusta untuk menuduh Yesus agar Ia dihukum mati.
Di dua lembaga pengadilan ini yang seharusnya memberi keputusan keadilan, tapi justru Yesus menerima ketidakadilan.
Padahal Pilatus pun tidak mendapati kesalahan Yesus. Bahkan Yudas yang telah menerima upah karena menjual Yesuspun mengakui bahwa Yesus tidak bersalah. Sebagaimana pengakuannya, dalam Matius 27:4, “Aku telah berdosa karena menyerahkan darah orang yang tak bersalah.” Tetapi jawab mereka: “Apa urusan kami dengan itu? Itu urusanmu sendiri!”
Matius yang juga dikenal sebagai Lewi, seorang pemungut cukai, menulis secara dramatis saat-saat Yesus menjalani sidang di dua Pengadilan tersebut. Sampai pada akhirnya Yesus menerima kenyataan dihukum mati. Orang yang dihukum dengan cara disalib menurut tradisi Yahudi maupun Ronawi, adalah orang yang melakukan kejahatan luar biasa (keji) atau bisa disebut penjahat kaliber. Dan hukuman itulah yang dialami Yesus bersama dengan dua penjahat lainnya.
Peristiwa ini adalah penggenapan nubuatan yang pernah ditulis Yesaya. “Ia terhitung di antara pemberontak-pemberontak” (Yesaya 53:12b).
Yesus yang tidak berdosa, tidak bercacat celah, harus menerima hukuman yang setimpal dengan penjahat kaliber.
Matius mencatat, Yesus bukan saja disiksa secara fisik, tapi juga siksaan psikis (batin), dimana ia diolok-olok dan dihina dengan perkataan-perkataan ejekan. Yesus benar-benar dipermalukan di depan umum. Ia diolok dan diejek karena mengaku sebagai Raja orang Yahudi. Status Yesus sebagai Raja Orang Yahudi inilah yang menjadi perdebatan di kalangan orang Yahudi. Hal itu terkait dengan nubuatan kedatangan Mesias (yang diurapi) sebagai Raja Israel yang dinanti-nantikan orang Yahudi. Ada yang percaya Yesuslah penggenapan nubuatan itu, tapi yang lain, terutama kalangan para imam dan ahli Taurat, tidak percaya.
Status Yesus sebagai Raja orang Yahudi inilah yang juga tergambar dan terbawa dalam kisah penyaliban itu. Dimana saat disalib, di atas kepala-Nya dipasang tulisan I.N.R.I: “Iesus Nazarenus Rex Iudaeorum” yang artinya “Inilah Yesus Raja Orang Yahudi”. Sebutan yang merupakan ejekan itu, pada akhirnya menjadi kenyataan. Bahwa ia bukan hanya “Raja orang Yahudi” tapi Dia adalah Raja di atas segala Raja (King of King). Dialah Juruselamat umat manusia, yang memerintah bukan hanya di dunia saja, tapi juga di sorga. Amin. (Jeffry Pay)