Save GMIM
Oleh Jeffry Pay
JUDUL di atas saya kutip dari pernyataan Kapolda Sulut Irjen Pol Roycke Langie saat memberikan pernyataan soal dipanggilnya beberapa Pejabat Pemprov Sulut, terkait dana hibah yang diberikan ke Sinode GMIM. Bahkan belakangan, juga pimpinan Sinode GMIM sebagai penerima juga dipanggil.
Pernyataan dengan tagar (tanda pagar) “Save GMIM” Kapolda ini memang mengusik banyak orang, khususnya dalam warga GMIM. Terjadi pro kontra, sudah pasti. Ada yang membela apa yang dilakukan Kapolda untuk melakukan bersih-bersih dalam GMIM, dan ada pula yang merasa kenapa Kapolda yang mengaku cinta GMIM tega melakukan itu. Dan yang dilakukan pemeriksaan kenapa hanya khusus GMIM. Padahal banyak gereja dan lembaga agama yang juga menerima dana hibah dari Pemprov.
Bahkan ada pula yang mengait-ngaitkan masalah ini dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan dilaksanakan 27 November 2024. Padahal substansinya berbeda.
Munculnya kasus dana hibah Pemprov Sulut ke Sinode GMIM ini memang cukup menghebohkan. Dan banyak orang berspekulasi ada sesuatu di dalam GMIM yang mungkin ditutup-tutupi.
Kapolda Sulut Irjen Pol Roycke Langie bahkan memberikan statement yang cukup keras, walaupun masih dalam tanda kutip “diduga”, bahwa ada oknum-oknum yang mungkin menyalahgunakan keuangan dari dana hibah tersebut.
Dana hibah yang diberikan itu juga nilainya ternyata bukan hanya Rp. 16 miliar sebagaimana diberitakan sejak awal. Sebagaimana diungkapkan Koordinator Bidang Humas Kombes (Purn) John Rori, nilainya ratusan miliar. Tapi hibah itu bukan hanya berbentuk uang, tapi juga gedung, seperti gedung Mission Center yang kini tengah dibangun di jalur jalan Ring Road 1 Manado.
Bahkan beredar informasi yang masih harus diteliti, bahwa dana hibah tersebut bila dikalkulasi, semuanya bisa bernilai triliunan.
Yang jadi sasaran pemeriksaan adalah transparansi penggunaannya. Pihak aparat penegak hukum (APH), termasuk Warga GMIM juga ingin tahu seberapa besar dana hibah tersebut yang diterima pimpinan Sinode GMIM. Dan bagaimana penggunaannya, apakah sudah sesuai peruntukan atau adakah penyalahgunaan sebagaimana dugaan sementara. Lalu oknum-oknum yang diduga melakukan penyalahgunaan siapa-siapa saja. “Karena bukan tidak mungkin kasus ini mengarah ke pencucian uang atau money laundry,” tutur seorang warga GMIM.
Ada pula yang berspekulasi, bahwa bukan tidak mungkin dana hibah ini dipakai sebagai alat untuk kepentingan politik. Karena banyak keluarga dan kerabat, baik pejabat warga GMIM maupun pejabat gereja GMIM, terlibat dalam politik praktis.
Harus diakui bantuan dana hibah ini memang menguntungkan GMIM. Karena bisa membantu proses pelayanan. Namun bila terjadi penyalahgunaan, maka oknum-oknum dalam Gereja Tuhan ini juga harus bertanggung jawab.
Mengenai dana hibah ini, menurut mantan Sekretaris Pemuda Sinode GMIM Drs. Dolfie Angkouw, yang paling bertanggung jawab adalah Gubernur Sulut Olly Dondokambey dan Ketua BPMS GMIM Pdt Hein Arina.
Keterlibatan oknum-oknum warga GMIM yang memanfaatkan GMIM untuk kepentingan politik, memang mendapat sorotan tajam selama ini. Bahkan pendeta-pendeta, baik diam-diam maupun terang-terangan menjadi Tim Sukses untuk kepentingan pejabat Sinode GMIM atau pejabat GMIM. Yang juga menjadi catatan, Badan Pekerja Majelis Sinode mengeluarkan Surat Penggembalaan agar warga GMIM tidak melakukan politik uang, tapi kenyataannya, “lain dibibir lain di hati”.
Dan saat ini mungkin tugas gereja GMIM sebagaimana selalu diajarkan, bukan lagi tiga tugas, yaitu bersaksi, bersekutu dan melayani, tapi sudah menjadi empat tugas, yaitu bersaksi, bersekutu, melayani dan berpolitik.
Bisa saja pernyataan ini menimbulkan pro kontra. Ada yang mungkin terusik. Tapi bisa juga ada yang mendukung bahwa benar tugas gereja, dalam hal ini GMIM, terkesan bukan lagi hanya bersekutu, bersaksi dan melayani, tapi sudah bertambah satu: berpolitik.
Banyak kalangan Pendeta yang tidak malu-malu menunjukkan identitas politiknya. Di dalam gereja dan ibadah-ibadah secara mencolok menggunakan pakaian ‘merah’ untuk menunjukkan sikap politiknya.
Mungkin saja mereka memang sama seperti yang pernah diungkapkan oleh mantan Ketua Sinode GMIM Pdt. Prof Dr WA Roeroe (almarhum) tentang “Teologi Picah Blanga”, yang artinya takut atau khawatir sumber penghidupannya terganggu.
Dan pernyataan itu memang cocok dengan video yang ramai diedarkan saat ini, dimana Ketua BPMS GMIM Pdt. Hein Arina mengatakan dengan nada ancaman, “Jangan coba-coba dengan yayasan, apalagi pa kita.”
Sebelum ini, pernah pula ramai beredar video pernyataan James Sumendap, mantan Bupati Minahasa Tenggara, yang menyatakan, GMIM berdosa kalau tidak pilih PDIP.
Dengan terungkapnya kasus ini, maka GMIM memang perlu berbenah, khususnya dalam hal pengelolaan dana dan Aset. Transparansi penggunaan dana dan aset harus menjadi perhatian utama. Sehingga gereja menjadi contoh.
Karena kalau belajar dari sejarah gereja, GMIM lahir dari gereja Reformasi. Dimana gerakan Reformasi yang dilakukan Marthin Luther, Johanes Calvin dan reformator lainnya, salah satunya adalah memprotes penggunaan uang yang salah oleh gereja Katolik pada saat itu, yaitu praktek penjualan indulgensia (penghapusan dosa).
“Save GMIM” atau Selamatkan GMIM yang disampaikan Kapolda Sulut Irjen Pol Roycke Langie bukan hanya sekadar slogan, tapi harus menjadi kesadaran bagi semua warga GMIM, agar gereja Tuhan ini tetap berdiri, sebagaimana juga ungkapan, GMIM adalah gereja yang kudus dan am. #Saya Cinta GMIM (Penulis seorang wartawan, warga GMIM)