Renungan Minggu: 3 – 9 November 2024 – Aku Harus Berada Dalam Rumah Bapa-Ku – Lukas 2:41-52
ALASAN PEMILIHAN TEMA
Rumah merupakan bangunan sebagai tempat tinggal. Khusus bagi hewan atau binatang sering disebut sangkar, sarang, atau kandang. Tapi bagi manusia, rumah adalah tempat kediaman keluarga untuk membangun kehidupan yang di dalamnya ada perjumpaan antara suami istri dan anak-anak. Karena itu disebut rumah tangga yang di dalamnya mereka bisa saling mengasihi, bercengkrama, mendengar nasihat dan lain sebagainya.
Rumah tangga dipimpin oleh kepala keluarga yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan merawat bahkan menjadikan rumah tangga itu sejuk. Istri mengatur perbendaharaan dalam kebutuhan di dalam rumah, sementara anak anak tunduk dan setia terhadap orang tua. Tetapi tidak sedikit di era milenium ke-3 ini, tantangan membangun rumah tangga mengalami distorsi (penyimpangan) sehingga menghadirkan rumah tangga “broken home” dan rusak. Kehancuran atau keretakan ini dapat terjadi karena fungsi dan peranan di dalam rumah tangga tidak berjalan baik. Oleh sebab itu, untuk menjawab problematik itu gereja terpanggil memberi edukasi dan penguatan iman melalui tema minggu ini, “Aku harus berada di rumah Bapaku.”
PEMBAHASAN TEMATIS
Pembahasan Teks Alkitab (Exegese)
Lukas adalah penulis Kitab Injil ini. Dia adalah seorang tabib (lihat Kolose 4:14) dan “seorang utusan Yesus Kristus”. Lukas adalah salah seorang “teman sekerja” Paulus (Filemon 1:24) dan rekan misionaris Paulus (lihat 2 Timotius 4:11). Lukas juga menulis Kitab Kisah Para Rasul. Lukas secara khusus mengalamatkan Kitab Injilnya kepada seseorang, yang dinyatakan dengan “bagimu” (Lukas 1:3); atau yang dalam Alkitab bahasa Inggris disebutkan bagi “Theophilus”. Dalam bahasa Yunani berarti “teman Allah” atau “dikasihi oleh Allah.” Lukas memberikan petunjuk lebih lanjut dengan menyampaikan laporan sistematik tentang pelayanan dan misi Juruselamat. Dia ingin mereka yang membaca kesaksiannya untuk “mengetahui … sungguh benar” (Lukas 1:4) Putra Allah itu—yang penuh belas kasih, pendamaian dan kebangkitan-Nya.
Lukas 2:41-52 penulis mengajak kita melihat kehidupan Yesus Kristus yang secara spesifik pada masa kecil-Nya saat berusia 12 tahun. Yang menarik dikatakan Lukas “Yesus semakin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan makin dikasihi Allah dan manusia” (ayat 52). Itu berarti perkembangan pertumbuhan Yesus Kristus hingga di usia 12 tahun, merupakan masa yang penting. Lukas menyaksikan peran orang tua dalam proses pertumbuhan-Nya. Menurut tradisi Yahudi ada saat mereka harus melakukan perjalanan ziarah atau “Aliyah Leregel” ke Yerusalem untuk memperkenalkan anaknya di hari raya Paskah.
Perayaan hari Paskah menjadi kewajiban setiap anak-anak Yahudi dibawa ke bait suci di Yerusalem. Sebab pada usia itulah ukuran seorang anak laki-laki Yahudi dianggap sebagai “laki-laki” dan setiap orang tua harus memperkenalkan anak mereka sebagai “the son of the law” atau Ibrani: Bar Mitzvah yakni anak Taurat. Biasanya anak-anak umur 12 tahun diperkenalkan di bait Allah sebagai bentuk bakti dan kesetiaan yang ditandai dengan penguasaan membaca Talmud (hukum dan adat istiadat Yahudi tafsiran dari hukum Taurat).
Sehabis merayakan Paskah, ketika dalam perjalanan pulang, Yesus Kristus tidak ditemukan oleh orang tuanya. (Ayat 44-45) Mereka mengira Dia ada dalam rombongan “Kafilah”, yakni bersama-sama dengan kerabatnya saat pulang tetapi mereka tidak menemukan Dia. Kafilah adalah rombongan atau iring-iringan orang yang berjalan bersama-sama baik menggunakan unta, keledai atau berjalan kaki.
Yusuf dan Maria merasa cemas, khawatir dan gelisah karena tidak menemukan-Nya dalah rombongan Kafilah. Mereka kembali ke Yerusalem dan menemukan-Nya di Bait Allah yang sedang menikmati diskursus dengan alim ulama selama 3 hari. Hal ini menunjukan Yesus Kristus bukan sekedar memenuhi kewajiban adat istiadat Yahudi, tetapi dia memperlihatkan sebagai Anak yang bertumbuh cerdas dan menguasai Kitab Suci. (ayat 46-47)
Saat orangtua menemukan-Nya, Yesus Kristus menjawab keraguan dan kecemasan orang tuanya dengan menjawab bahwa Dia berada di Rumah Bapa-Nya. (Ayat 48-49) Yesus Kristus tidak menggunakan istilah bapa secara lahiriah “Yusuf”. Tetapi menunjuk pada sesuatu yang bersifat spiritual “Allah” (Luk. 10:22, 22:29, Yoh. 20:17). Frasa ini memberi arti Rumah Bapa adalah rumah-Nya. Di satu sisi, Rumah Bapa juga menunjuk pada “surga” atau kerajaan Allah, artinya sebuah tempat di mana ada damai sejahtera. Dengan demikian Yesus Kristus adalah Allah yang tidak perlu diragukan. (ayat 50) Sehingga, pernyataan itu disimpan oleh Maria sebagai rahasia karena mereka memahami siapa Yesus Kristus. (ayat 51)
Bait Allah adalah rumah-Nya. Rasul Paulus mengatakan, “…tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” (Efesus 4:15) dan “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah.” (1 Korintus 11:3)
Rumah Bapa adalah tempat di mana ada damai sejahtera, ketenangan batin dan kesejukan, “sebab di luar Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yohanes 15:5-6).
Makna dan Implikasi Firman
• Tanggung Jawab keluarga Kristen adalah bagaimana menjadikan rumah kediaman kita ada rasa “Syalom” atau “Damai Sejahtera” yang di dalamnya terbangun saling mengasihi antara suami istri (Efesus 5:22-23) sehingga anak-anak dalam pertumbuhan iman terbangun dengan akar yang kuat. Ibarat tunas pohon zaitun di sekeliling mejamu (Mazmur 128) yang tidak gampang hanyut dengan berbagai tantangan, tuntutan dan godaan. Dalam Rumah Bapa hadir kasih Allah Bapa. Juga di setiap rumah orang Kristen dan Gereja yang menempatkan Yesus Kristus sebagai Kepala.
• Keluarga adalah rumah pusat tempat persemaian nilai-nilai iman dan pengembangan diri. Oleh karena dalam keluarga landasan kehidupan anak dibangun dan dikembangkan. Rumah keluarga juga tempat untuk mempersiapkan anak-anak memiliki masa depan yang baik.
• Panggilan membangun rumah keluarga Kristen harus mencakup aspek psikologis dan spiritualitas yang kuat agar mengembangkan perilaku kesabaran, ketenangan, ketegasan dan integritas. (Titus 2:4-5) Sehingga anak-anak akan mengalami proses pedagogik secara turun-temurun. Ibarat minyak yang baik yang terus mengalir di atas kepala meleleh ke janggut, Harun (Mazmur 133). Dapat diartikan pendidikan bagaikan minyak yang baik terus mengalir dari satu generasi ke generasi yang lain.
• Yusuf dan Maria menunjukkan tanggung jawab yang besar baik secara spiritual dan jasmani bagi perkembangan anak mereka dengan memperkenalkan kasih Bapa kepada anak sejak dalam kandungan. Itu berarti keluarga Kristen harus dapat mempersiapkan kualitas keturunan sejak dalam kandungan, bayi dan masa anak-anak agar mereka pada saat dewasa telah memiliki fondasi yang kuat; mandiri secara rohani dan jasmani. (band.1 Korintus 3:12-13) Ada keluarga Kristen hidup orangtua tunggal (single parents). Kendati demikian, sifat dan peran orangtua dalam keluarga harus tetap berjalan. Sebab Yesus Kristus adalah kepala keluarga yang menjadi pusat keteladanan kita.
• Keluarga Kristen berperan menghadirkan damai sejahtera Yesus Kristus dan menjadi berkat bagi masyarakat sebagai bentuk kesaksian orang percaya untuk menghadirkan syalom. Kendati keluarga atau rumah tangga yang terdiri dari Suami Istri dan anak anak memiliki peranan masing masing di dalam hidupnya, namun kepala keluarga memiliki peranan sentral yang menjadikan rumah tempat yang “terlindung” dan dirasakan “nyaman.” “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh.” (Efesus 5:22-23). Amin. (mtpjgmim)