Politik Egalitarian VS Politik Dinasty

Oleh Joppie Worek *
Reformasi Politik di Indonesia yang bergulir sejak 1998 telah merubah banyak hal, termasuk merubah kultur politik di Minahasa yang sebelumnya didominasi oleh kekuatan politik egalitarian bergeser atau berubah didominasi politik dinasty.
Egalitarian adalah aliran filsafat politik yang mengutamakan kesetaraan atau kesamaan kesempatan mengisi ruang kekuasaan politik. Aliran egalitarian memandang semua setara dalam proses rekrutmen politik. Berbeda dengan “politik dinasty” dimana rekrutmen politik didominasi oleh hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.
Sejak kemerdekaan hingga era reformasi Minahasa selalu melahirkan tokoh pemimpin politik berbasis egalitarian. Kita bisa sebut sederet tokoh militer dan sipil yang tumbuh dan tampil sebagai pemimpin politik egaliter. Sebut saja generasi HV Worang, Welly Lasut, GH Mantik, CJ Rantung, Frits Sumampow, EE Mangindaan, Theo Sambuaga,.Eric Samola. Memasuki era reformasi tokoh yang berbasis egalitarian masih bermunculan seperti AJ Sondakh, Fredy Sualang, SH Sarundajang, Vreeke Runtu, Jimmy Rimba Rogi, dan Elly Lasut, dan Olly Dondokambey.
Tokoh-tokoh politik tersebut diatas telah melalui proses rekrutmen politik yang panjang dan ada dalam bingkai kesetaraan (egalitarian). Mereka belajar, mereka melatih dan memperlengkapi diri, mematangkan diri berorganisasi, mereka diuji dalam semangat kesetaraan, dan kemudian masuk area rekrutmen politik.
Dalam perjalanan reformasi politik, beberapa tokoh egaliter tersebut di atas akhirnya ikut tersedot pada “mainan baru” yang berbeda dari politik egalitarian yaitu politik identitas.
Sebut saja, EE Mangindaan mendorong kedua anaknya menjadi Wakil Walikota Manado dan anggota DPRD Provinsi. AJ Sondakh mendorong isteri dan kedua anaknya terjun ke panggung politik. Freddy Sualang membuka jalan isteri dan anaknya sebagai legislator dan eksekutif. SH Sarundajang menjadikan ketiga anaknya sebagai legislator, anggota DPD, dan eksekutif. Vreeke Runtu menjadikan anaknya sebagai legislator, Jimmy Rimba Rogi juga tak ketinggalan mengajak anaknya jadi legislator, Elly Lasut pun demikian istrinya jadi Bupati Mitra dan anaknya jadi legislator.
Jika kita membaca peta rekrutmen politik di Sulawesi Utara dalam 25 tahun terakhir setelah reformasi, dapat disimpulkan bahwa sekitar 70 % kekuasaan politik di Sulawesi Utara berhubungan dengan rekrutmen politik dinasty.
Masing-masing kita bisa membuat beberapa daftar politik dinasty politisi Minahasa. Bisa mulai dari dinasty politik Olly Dondokambey yang “sangat gemuk”, dinasty SH Sarundajang, dinasty Freddy Sualang, dinasti Tetty Paruntu, dinasty Elly Lasut, yang baru muncul dinasty Steven Kandouw.
Yang dimaksud dinasty di sini adalah keluarga dan kerabat yang secara bersama menguasai beberapa titik kekuasaan politik (legislatif dan eksekutif) bahkan simpul-simpul ekonomi dan sosial budaya.
Tersadarlah kita, bahwa reformasi politik 1998 memang telah menepis kultur politik egalitarian Minahasa. Reformasi politik memang telah membuka ruang lebar untuk bergeser dari politik egaliter ke politik dinasty. Ya, konsitusi memang bisa berseberangan dengan kearifan lokal politik egalitarian Minahasa.
Pertanyaannya, apakah spirit politik egalitarian Minahasa yang juga produk budaya lokal akan mati ? Lantas apakah dominasi politik dinasty akan langgeng dan mematikan egalitarian.? Dalam keyakinan saya, tidak akan dalam waktu yang singkat.
Jika politik egalitarian diibaratkan batu penjuru, dan politik dinasty adalah air yang mengaliri batu penjuru. Maka batu itu bisa bergeser dan sedikit tergerus, tetapi tidak akan hancur. Mengurangi aliran air politik dinasty dapat menjadi salah satu solusi untuk tetap memperkokoh kultur politik Minahasa yang egalitarian.
Hadirnya politik dinasty di Minahasa sesungguhnya telah membelokan jalan sejarah Minahasa yang tidak feodalistik. Ini juga sekaligus melukai moralitas sosial, yakni kebersamaan dan kesetaraan.
Sejauh ini di basis masyarakat sedang dihidupkan lagi nilai-nilai kultural lokal Minahasa melalui ormas-ormas adat dan para aktivis budaya. Spirit masyarakat ini justru berseberangan dengan spirit kelompok elite kekuasaan yang membangun menara kekuasaan dengan hegemoni, oligarki, dan dinasty.
Untuk melewati persimpangan ini, diperlukan kesadaran bersama dalam semangat kesetaraan untuk masa depan negeri. Diperlukan kerelaan elite pemimpin untuk tidak menjadi “pemborong” kekuasaan, tidak menjadi serakah. (***)
Penulis, jurnalis senior