Patung Sam Ratulangi di Ranotana: Jendela Sejarah dan Identitas Kota Manado
Oleh : Dr. Ir Dwight Mooddy Rondonuwu, ST.,MT
(Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi Sulawesi Utara, Dosen Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UNSRAT)
KOTA Manado tidak hanya dikenal sebagai gerbang pariwisata Sulawesi Utara, tetapi juga sebagai kota yang kaya akan sejarah dan identitas budaya. Salah satu ikon yang merepresentasikan semangat perjuangan dan nilai kebangsaan adalah Patung Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi, atau yang lebih dikenal sebagai Sam Ratulangi. Patung ini berada di perempatan jalan Sam Ratulangi Ranotana, menjadi pengingat akan sosok pahlawan nasional yang lahir di Sulawesi Utara dan berjasa besar dalam sejarah Indonesia. Konon patung ini dibuat oleh seniman Alexander Wetik atas inisiatif Gubernur Sulut masa itu Mayjen H.V Worang, dimana pembangunan Patung Sam Ratulangi dimulai pada tahun 1969 dan diresmikan pada tahun 1970, untuk mengenang jasa beliau sebagai putra daerah Sulut dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Makna di Balik Patung Sam Ratulangi
Sosok pahlawan nasional Sam Ratulangi tidak sekadar dikenal sebagai guru, ilmuwan, pemikir, jurnalis dan politisi tetapi juga sebagai tokoh bangsa yang memperjuangkan keadilan dan persatuan bangsa. Filosofinya, “Si Tou Timou Tumou Tou” yang berarti “Manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain” telah menjadi pedoman hidup bagi masyarakat yang relevan hingga kini. Patung yang berdiri tegak di Ranotana Kota Manado merefleksikan perjuangan, semangat kemanusiaan, dan kecintaan beliau terhadap pendidikan dan kemerdekaan. Dari sudut pandang arsitektur dan desain urban, keberadaan patung ini adalah bagian dari ruang publik yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Sebagai elemen karya seni budaya pematung asal Manado, patung ini tidak hanya memberikan estetika visual dan menjadi “landmark” tetapi juga fungsi edukatif bagi masyarakat yang melintas.
Desain dan Lokasi suatu Simbolisme yang Kuat
Patung Sam Ratulangi setinggi 5 meter ini terbuat dari semen dengan cat warna putih sebagai lapisan luarnya, dirancang berdiri penuh wibawa sambil memegang bukunya bertuliskan “si tou timou timou tou” dengan ekspresi penuh kebijaksanaan. Sikap tubuhnya yang tegak kokoh mencerminkan keteguhan hati, sementara posisinya di tengah persimpangan jalan utama kota menegaskan akan perannya sebagai tokoh pemersatu. Dalam teori arsitektur perkotaan, Lynch (1960) menyatakan bahwa elemen kota seperti “landmark” memiliki peran penting dalam menciptakan legibility kemampuan suatu kota untuk mudah dipahami dan diingat. Patung Sam Ratulangi, sebagai landmark, tidak hanya membantu warga mengenali ruang kota tetapi juga memberikan dimensi historis yang memperkaya identitas Manado. Penempatan patung di perempatan jalan Sam Ratulangi Ranotana, yang merupakan salah satu persimpangan tersibuk di Manado, juga sejalan dengan gagasan dari Kevin Lynch bahwa lokasi strategis meningkatkan visibilitas dan signifikansi suatu elemen dalam struktur kota. Namun, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa simbolisme ini tidak tergerus oleh arus modernisasi yang sering kali melupakan konteks sejarah.
Patung Sebagai Elemen Identitas Kota
Dalam konteks arsitektur perkotaan, patung-patung pahlawan seperti Sam Ratulangi dapat diintegrasikan dalam narasi kota sebagai identitas kolektif. Seperti halnya patung-patung pahlawan di berbagai kota besar di dunia, keberadaan patung ini juga dapat menjadi daya tarik wisata sejarah, sekaligus pengingat akan pentingnya nilai-nilai perjuangan dalam membangun masyarakat yang inklusif dan berkeadaban. Patung Sam Ratulangi, sebagai bagian dari lanskap kota, mencerminkan nilai-nilai budaya lokal yang diwariskan melalui simbol fisik. Dengan demikian, patung ini berperan sebagai medium budaya yang mempertegas identitas kolektif Kota Manado. Ke depan, pemerintah dan masyarakat perlu memanfaatkan potensi ini dengan memberikan makna baru bagi generasi muda. Selain itu, desain lanskap di sekitarnya dapat diperbaiki untuk meningkatkan aksesibilitas dan kenyamanan, sehingga kawasan ini tidak hanya menjadi tempat melintas, tetapi juga ruang refleksi dan edukasi.
Melangkah Maju dengan Warisan Sejarah
Sebagai Tim Ahli Cagar Budaya Sulut dan akademisi Universitas Sam Ratulangi, saya memandang bahwa Patung Dr. Sam Ratulangi bukan sekadar monumen, tetapi juga jendela yang menghubungkan generasi masa kini dengan nilai-nilai luhur masa lampau. Dengan mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai ini, kita tidak hanya melestarikan sejarah tetapi juga menciptakan warisan yang bermakna bagi masa depan Kota Manado. Patung Sam Ratulangi di Ranotana adalah simbol bahwa identitas kota tidak hanya terbangun dari gedung-gedung megah atau trotoar kota yang dipercantik tetapi juga dari kesadaran akan akar sejarah dan budaya. Di tengah arus modernisasi yang deras, semangat “Si Tou Timou Tumou Tou” harus terus dijaga dan diwariskan sebagai identitas sejati Kota Manado. (**)