Mengenang Natal di Masa Kecilku di Kampung yang Dingin


Oleh Jeffry Pay 

MEMASUKI bulan Desember umat Kristiani di seluruh dunia mengidentikan dengan perayaan Natal. Tidak heran saat memasuki bulan Desember lagu-lagu Natal dan juga pernak-pernik Natal menghiasi rumah-rumah, toko, dan pusat-pusat perdagangan. Tidak terkecuali di jalan-jalan di kota-kota tertentu juga nampak suasana Natal.

Natal memang membangkitkan emosi dan romantis. Karena di perayaan Natal setiap orang merindukan suasana damai dan bahagia. Wujud dari kerinduan itu adalah bertemu bersama keluarga, teman dan tetangga serta kenalan.

Suasana itu juga makin romantis bila berjauhan. Semua berupaya untuk bisa bertemu dan berkumpul. Tapi kalau mau jujur perayaan Natal saat ini sebetulnya sudah bergeser nilainya. Karena perayaan Natal yang kudus sebagai bagian dari ungkapan iman tentang kelahiran Kristus untuk menyelamatkan manusia, telah berubah menjadi pesta pora dan praktik-praktik yang tidak sesuai ajaran Kristiani.

Di sini saya ingin menceritakan kenangan Natal saya di masa kecil. Sebagai seorang anak yang tumbuh dari keluarga yang miskin, saya selalu merasa minder bila menghadapi Natal. Karena keluarga kami tujuh kakak beradik hanya dihidupi oleh seorang Ibu yang sudah janda. Karena papa kami telah meninggal di saat kami masih kecil-kecil. Saya sendiri sebagai anak bungsu baru berumur 2 tahun lebih saat ayah kami meninggal. Dan kami tidak memiliki harta apapun. Ibu kami pun memilih untuk kami tinggal di kebun milik Opa-Oma di Desa Noongan, kampung yang dingin. Kebun yang kami tinggal berada dekat perkebunan Kelelondey. Sekarang kompleks SD Inpres Noongan Kecamatan Langowan Barat Kabupaten Minahasa.

Di kebun inilah saya mulai mengenal Tuhan dan ajaran Kristen, serta mengenal apa itu Natal. Saya memang dibesarkan di kebun. Dan karena itu saya juga ingin mengisi masa tuaku di kebun yang tenang dan damai.

Bagi anak kecil seusai saya di tahun 1970-an, Natal identik dengan baju baru, sepatu baru, bermacam kue dan makanan enak. Dan itu semua Ibu kami tidak bisa menjangkaunya. Bayangkan tujuh kakak beradik yang masih kecil dan baru beranjak remaja bila menuntut baju baru. Jangankan baju baru, makanan pun sulit diperoleh.

Ibu kami, yang biasa kami sapa ‘Mami Dey’, hanyalah seorang tukang jahit pakaian. Di rumah atau lebih tepat gubuk yang kami tinggali, pada saat menjelang Natal memang banyak yang datang menjahit pakaian. Karena di masa itu belum seperti sekarang sudah tersedia pakaian jadi di toko-toko. Orang lebih banyak membeli kain untuk dijahit.

Lalu kami kakak beradik hanya bisa iri melihat mereka yang bisa jahit pakaian baru. Belum lagi kalau bicara soal makanan enak dan kue Natal. Kalau soal kue Natal, Mami Dey cuma bisa menyediakan sekaleng kue merek Khong Guan.

Suatu saat menjelang Natal, saya dengan terpaksa meminta Mami Dey untuk memberikan saya baju baru. Karena saya ingin jalan-jalan dengan sesama teman, yang di kampung kami mengenal istilah ‘pasiar’. Ibu saya hanya menjawab, “sabar jo Jeffry, kan bukan cuma tahun ini ada Natal.” Saya hanya bisa diam dan menerima kenyataan.

Setahun berlalu, akhirnya Natal datang lagi. Saya pun mulai merasa sedih, kalau tidak bisa jalan-jalan bersama teman-teman. Jadi Natal yang seharusnya membawa damai dan kebahagiaan, justru menjadi hari kesedihan bagi saya. Dan seperti tahun sebelumnya, saya
meminta Mami Dey menyediakan baju baru buat saya. Namun jawaban yang sama datang lagi dari seorang janda miskin. Saya hanya bisa bilang, kalau Mami ndak bisa sediakan baju baru, belikan saja saya ayam kecil untuk saya pelihara. Karena saya suka memelihara ayam.

Sampai suatu saat ketika Natal tiba, saya tidak lagi meminta baju baru. Padahal barusan saya melihat teman mencoba pakaian baru yang dibeli orang tuanya untuk dipakai hari Natal.

Saya harus maklum dengan keadaan ibu saya. Tapi Ibu saya rupanya tau kalau saya sangat membutuhkan baju baru. Dan ketika Natal tiba Ibu saya meminta mencoba memakai sebuah kemeja. Saya lihat kemeja itu jahitannya dari kain warna-warni. Ternyata Ibu saya hanya mengambil sisa-sisa kain jahitan, yang istilah orang Noongan, “tiras” untuk disambung menjadi satu pakaian. Dan itulah yang menjadi baju baru buat saya pakai di hari Natal yang kudus dan meriah itu. Jadi bukan cuma bayi Yesus yang pernah memakai kain lampin. Saya juga pernah. (**)

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top