Ini Pernyataan Sikap Jaringan Masyarakat Sipil Soal UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

JAKARTA, CahayaManado.com–Jaringan Masyarakat Sipil Kawal UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyampaikan pernyataan sikap terkait “PERCEPATAN PENGESAHAN ATURAN PELAKSANA DAN IMPLEMENTASI UU TPKS
UNTUK PERCEPATAN PENCEGAHAN, PENANGANAN,
PELINDUNGAN DAN PEMULIHAN HAK-HAK KORBAN”.
Berikut isi lengkap pernyataan sikap tersebut:
Sudah hampir dua tahun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasaan Seksual (UU TPKS) disahkan, namun aturan turunan dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden belum ada. Hal ini menyebabkan implementasi UU TPKS dalam pencegahan, penanganan dan
pemulihan hak-hak korban TPKS di daerah mengalami tantangan dan hambatan. Saat ini penyusunan aturan turunan UU TPKS masih dalam proses harmonisasi, sementara kasus Kekerasan Seksual terus terjadi dan dilaporkan, sehingga penanganannya tetap harus berjalan dengan menggunakan UU TPKS.
Ada banyak catatan terkait hambatan implementasi UU TPKS dalam penanganan kasus, yang dikumpulkan dari para pendamping korban dan para aktivis yang bekerja bersama korban di berbagai daerah. Beberapa diantaranya ialah: 1) Belum adanya aturan turunan UU TPKS agar implementasi UU TPKS dapat dilakukan secara efektif; 2) Belum adanya koordinasi K/L, institusi penegak hukum, UPTD PPA, pemerintah daerah dan institusi terkait lainnya lintas sektor baik di tingkat pusat maupun daerah untuk memonitor implementasi UU T PKS, 3) Rendahnya tingkat pemahaman substansi UU TPKS, perspektif gender, disabilitas dan inklusi sosial, serta kesiapan Aparat Penegak Hukum (APH), Pemerintah Daerah, dan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) terkait untuk implementasi UU TPKS; 4) Kurangnya ketersediaan tenaga pendukung seperti pendamping termasuk pendamping disabilitas, pengacara, tenaga medis, psikolog, psikiater, dan Juru Bahasa Isyarat 5) Ketersediaan anggaran dan rumah aman; 6) Perlindungan dan keamanan bagi korban
dan keluarganya, saksi, dan tenaga pendamping kasus TPKS; 7) Penyelesaian kasus TPKS hingga Putusan Pengadilan Negeri yang belum menggunakan UU TPKS.
Di berbagai daerah di Indonesia seperti di Aceh, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan, Jawa Tengah, NTT, Maluku dan Papua mengalami hambatan dan kendala implementasi di kepolisian diantaranya belum memahami substansi UU TPKS. Di Sulawesi Utara dan NTT misalnya, selain APH belum memahami substansi UU TPKS, mereka lebih berfokus pada penjeratan hukuman pelaku, seperti kasus anak yang hanya menggunakan UU Perlindungan Anak dengan alasan hukuman lebih tinggi daripada UU TPKS. APH belum menggunakan aturan turunan UU TPKS sebab khawatir adanya penolakan dari Kejaksaan karena belum satu pemahaman.Hal ini diperparah dengan budaya patriarki, stigma dan ketakutan terhadap pandangan masyarakat
terkait kasus kekerasan seksual, yang menyebabkan masih kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum dan kesadaran masyarakat untuk melindungi dan memulihkan korban. Selain itu ambiguitas beberapa istilah seperti pelecehan seksual, relasi kuasa atau perendahan martabat perempuan yang sulit untuk pembuktiannya secara hukum padahal ini penting.
UPTD PPA sebagai leading sector dalam penanganan yang ditunjuk dalam UU TPKS belum melakukan koordinasi dan duduk bersama dengan Pemerintah Daerah dan APH baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, serta pihak terkait lainnya, termasuk dengan lembaga pemberi layanan untuk menyamakan persepsi atau pemahaman terkait substansi UU TPKS. Meskipun ada
beberapa kendala dalam implementasi, Polda Sulut sudah menggunakan UU TPKS untuk kasus pelecehan seksual non fisik dengan putusan 4 bulan penjara, dan dua kasus KSBE yang saat ini masih berproses.
Di Kalimantan dan Papua misalnya, masih sering menggunakan pendekatan mekanisme adat dan agama dalam penyelesaian kasus-kasus TPKS yang merugikan korban. Sedangkan belum ada kesiapan dari Instansi Pemerintah Daerah maupun APH setempat untuk terus memproses hukum
kasus TPKS sekalipun mekanisme adat dilaksanakan -sebagaimana dimandatkan dalam UU TPKS- bahwa kasus TPKS tidak dapat dicabut atau dihentikan proses hukumnya.
Di samping itu, semakin banyaknya kasus-kasus Kekerasan Seksual yang bermunculan dan dialami oleh balita, anak maupun orang dewasa belum mengutamakan pemulihan bagi korban serta perlindungan bagi korban, saksi dan pendamping. Tindakan intimidatif dan represif yang membahayakan jiwa dan menimbulkan trauma juga kerap dialami oleh keluarga korban, saksi dan pendamping. Di sisi lain, kehadiran 4 Provinsi baru di Papua, menyebabkan koordinasi di tingkat Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan serta sejumlah tenaga ahli seperti psikolog dan pendamping (lembaga layanan berbasis masyarakat) juga hanya berpusat di 2 wilayah terdahulu yang jaraknya jauh dan membutuhkan biaya besar. Hal ini berdampak pada penanganan secara hukum yang sulit diakses, selain memang sulit menerapkan UU TPKS dalam penanganan hukum kasus TPKS di wilayah konflik di Papua. Hal ini tidak hanya terjadi di Papua, tetapi juga di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) serta kepulauan lain dimana korban TPKS sulit mengakses layanan dan mendapatkan keadilan karena persoalan biaya dan jarak yang sangat jauh ke kantor polisi, RS dan UPTD PPA.
Di Malang Raya masih ada penyidik yang tidak mau menggunakan UU TPKS, bahkan
memindahkan kasus ke Polres yang menggunakan UU TPKS. Penyelesaian kasus TPKS di luar peradilan masih sering direkomendasikan oleh pihak kepolisian. Sementara permohonan perlindungan ke LPSK memakan waktu lama, padahal kebutuhan mendesak. Sementara kendala yang dihadapi lainnya juga terkait dengan korban kekerasan seksual yang hamil dan memerlukan bantuan kesehatan juga tidak sinkron dengan kebijakan BPJS dengan UU TPKS sehingga hak layanan medis korban tidak tercover BPJS.
Di Aceh, penyelenggaraan layanan bagi pemenuhan hak-hak korban pelecehan dan kekerasan seksual masih menghadapi tantangan karena menggunakan Qanun No.9 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. Qanun ini belum optimal pelaksanaannya. Pasal tentang perkosaan dan pelecehan seksual dalam Qanun Aceh No 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayah belum komprehensif dalam memberikan kepastian atas jaminan hak konstitusional perempuan dan anak, termasuk keadilan dan pemulihan atas pelindungan hukum dari pelecehan dan kekerasan seksual.
Untuk wilayah Jawa Tengah dan Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), masih ada tantangan yang ada di Kepolisian untuk mengimplementasikan UU TPKS. Tantangan tersebut antara lain adalah masih kurangnya pemahaman penyidik dalam memenuhi unsur pasal yang ada di UU TPKS. Bahkan sebulan setelah disahkannya UU TPKS, masih ada penyidik yang tidak mengetahui adanya UU TPKS. Penyidik masih membutuhkan bukti untuk penguatan unsur kekerasan seksual, misalnya untuk kasus pelecehan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU TPKS harus memperlihatkan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan dari pelaku terhadap korban. Masih ada oknum kepolisian yang melihat situasi kasus kekerasan seksual yang terjadi pada orang dewasa adalah stigma “suka sama suka” dan juga diskriminasi. Sama dengan di Aceh, korban kekerasan seksual dan keluarga tidak jarang mengalami dilema untuk mengadukan kasusnya karena mempertimbangkan aib, ancaman dan kekhawatiran lainnya. Bahkan ada ahli pidana yang juga menyarankan untuk menikahkan saja antara korban dan pelaku. Ada juga penyidik yang justru menyarankan pelaku dan korban menyelesaikan kasus kekerasan seksual ini dengan mediasi diluar kepolisian. Demikian halnya dengan korban perempuan disabilitas, orangtua secara
sepihak mencabut laporan tanpa persetujuan korban terutama jika pelaku memiliki hubungan keluarga dengan korban. Akhirnya banyak kasus kekerasan seksual yang akhirnya dicabut oleh korban. Walaupun ada inovasi dari Majelis Hakim yang ada di Jawa Tengah, dalam kasus kekerasan seksual anak dimana dalam pertimbangan putusannya hakim menggunakan UU TPKS
untuk memutuskan restitusi dengan sita jaminan dari barang milik pelaku. Namun inovasi ini tidak bisa direalisasikan oleh Jaksa Penuntut Umum, karena ternyata barang jaminan tersebut baru diketahui adalah milik orang tua pelaku, sehingga Jaksa Penuntut Umum tidak bisa melakukan eksekusi restitusi tersebut.
Untuk wilayah Bali, ada kasus kekerasan seksual dengan grooming, melalui chatting merayu banyak korban untuk foto alat kelamin dan dikirim ke pelaku, dan sampai saat ini pihak kepolisian tidak menetapkan pelaku sebagai tersangka dan hanya memakai UU Perlindungan Anak No. 35/
2014, tidak memakai UU TPKS. Polisi hanya sibuk mencari saksi karena ada 1 anak mengalami kekerasan seksual langsung, sementara anak yang lain ketakutan dan diancam oleh pelaku hingga kini trauma karena melihat pelaku bebas berkeliaran. Pelaku juga masuk sekolah dengan modus
menjadi guru relawan Pembina Pramuka tidak berbayar, antara lain ke 4 sekolah SD dan SMP.
Aturan turunan UU TPKS juga sangat ditunggu bagi kasus TPKS yang juga melibatkan korban WNA di daerah pariwisata Bali, karena mereka kecewa dengan kelambanan polisi serta tidak nyaman mendapatkan perlakuan seperti difoto dan pertanyaan melecehkan saat di. Ini terungkap dari pendamping Kedutaan Inggris yang mendampingi laporan. Juga semakin mengkhawatirkan
pernyataan polisi tentang SOP yang mewajibkan tahap penyidikan selalu ada beberapa kali gelar kasus, karena seperti kata polisi, mereka harus siap juga dipropamkan pelaku. Selain itu ada kebingungan terkait unsur “perendahan martabat perempuan”, belum ada ahli yang bisa menjelaskan ini. Masih ada jaksa mempertanyakan “satu saksi bukan saksi” atau tidak yakin dengan satu saksi. Sampai saat ini Bali belum memiliki rumah aman yang disediakan pemerintah Bali, padahal sudah diminta sejak tahun 2004. Akibatnya, pemulihan korban kekerasan seksual dirujuk ke shelter yang diselenggarakan oleh pihak swasta.
Di Maluku, UPTD belum berfungsi dengan baik karena tidak Dinas PPPA masih pegang kendali atas operasional UPTD termasuk penggunaan fasilitas pendampingan korban. Korban datang dari pulau-pulau untuk akses layanan hukum di Ambon dimana POLRES berada, tidak ada dukungan dari pemerintah yang memadai untuk shelter atau rumah aman dan biaya hidup korban selama menunggu proses hukum. Selain itu, masih ada persoalan keamanan untuk pendamping yang mendampingi korban malah dikriminalisasi. Impunitas bagi pelaku KS yang merupakan pejabat negara, tokoh agama, tokoh politik, dan pejabat TNI/POLRI banyak terjadi berbagai wilayah Indonesia. Sebagai contoh kasus KS di Maluku Tenggara dimana pelakunya adalah seorang pejabat publik sampai saat ini tidak dilanjutkan proses ihukumnya dengan alasan laporan polisi dicabut oleh keluarga korban, padahal hal ini tidak bisa menjadi alasan bagi kepolisian dari penghentian penyidikan. Terlebih, perbuatan tersebut dapat diberikan sanksi diperberat mengingat pelakunya adalah pejabat negara.
Korban kekerasan seksual disabilitas masih banyak mengalami hambatan dalam penanganan proses hukumnya. Hal ini terkait dengan masih belum ada aksesibilitas dan akomodasi yang layak untuk korban disabilitas mulai dari tingkat UPTD PPA, kepolisian, sampai tingkat pengadilan. Perspektif APH juga masih bias gender dan memposisikan korban dan pendamping korban disabilitas tidak cakap hukum. Penempatan ruangan pengaduan kasus kekerasan seksual (UPPA) di kepolisian sulit diakses oleh korban disabilitas karena berada di lantai 2. Demikian juga waktu BAP memakan waktu dan prosesnya sangat lama melelahkan secara mental untuk korban dan pendamping disabilitas. Fasilitas Juru Bahasa Isyarat tidak disediakan di UPTD PPA, kepolisian dan pengadilan, sehingga lembaga pendamping yang menanggung biaya penyediaan Juru Bahasa Isyarat ini.
Kami menuntut kepada Pemerintah untuk :
1. Segera disahkan Aturan Pelaksana UU TPKS, baik Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, bagi kelancaran penanganan kasus kekerasan seksual di berbagai daerah di Indonesia, dengan memastikan mekanisme pelindungan, penangan, pemulihan bagi korban dapat
dilaksanakan dengan efektif dan efisien termasuk adanya mekanisme khusus Ketika pelaku adalah pejabat negara/ASN/APH/Kepala Desa/Tokoh Adat/Tokoh Agama, serta koordinasi dan pemantauan implementasi UU TPKS antara pusat dan daerah, mekanisme layanan terpadu pusat antar pulau atau wilayah, dan mekanisme berjejaring untuk perlindungan korban,
2. Sosialisasi dan edukasi untuk pemahaman UU TPKS bagi seluruh Aparat Penegak Hukum,
Dinas/instansi terkait yang mendampingi kasus tindak pidana kekerasan seksual sehingga pelaksanaan UU TPKS dalam perspektif gender dan keberagaman yang berpihak pada pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban.
3. Segera tingkatkan koordinasi antar pengada layanan, Lembaga Negara HAM/NHRI, LPSK, Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPAI, APH, pelaksana BPJS dan juga KPPPA serta Kementerian terkait harus dikuatkan dengan kesepahaman bersama bagi kepentingan
pelayanan korban yang holistik, termasuk terkait keberagaman, wilayah konflik, disabilitas dan situasi khusus (seperti wilayah Aceh, Papua dan wilayah pulau terluar lainnya).
4. Mengalokasikan anggaran untuk menyediakan aksesibilitas dan akomodasi yang layak untuk penanganan kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah disabilitas di tingkat UPTD PPA, kepolisian, dan pengadilan. Termasuk penyediaan Juru Bahasa Isyarat, psikolog, serta penempatan ruang pengaduan kasus kekerasan seksual yang mudah di akses penyandang disabilitas dan fleksibilitas waktu dalam pelaporan kasus.
Contact Person
Rena Herdiyani – herdiyanirena@gmail.com