Ferry Liando: Debat Capres Didominasi Saling Serang Personal


MANADO, CahayaManado.com–Hasil Debat Calon Presiden pada Minggu (07/01/2023) menjadi bahan perbincangan, baik di dunia maya maupun dunia nyata.

Tidak heran muncul berbagai tanggapan, baik positif maupun negatif. Dan masing-masing kubu mempunyai persepsinya masing-masing.

Berkaitan dengan debat tersebut, pengamat politik dari Unsrat Manado Ferry Liando juga ikut menanggapi.

Kepada media ini ia mengungkapkan, karena ketiga Capres tak menguasai subtansi materi secara detail, maka ketiganga akhirnya menyerang secara personal. “Itu bentuk akal-akalan menutupi keterbatsan mereka,” ujarnya.

Menurut Ferry Daud Liando, kandidat yang menyerang itu bukan subtantif pada permasalahan. Sementara pihak yang diserang juga sepertinya tidak ada akal dan logika menaggapi berbagai serangan. “Itulah sebabnya serangan personal lebih dominan dalam debat, ketimbang tawaran solusi atau strategi pemecahana masalah atas fenomena yang dihadapi Indonesia saat ini,” katanya lagi.

Menuut Liando, jika pemilih Indonesia didominasi oleh pemilih kritis atau pemilih rasional, maka hasil debat ketiga Minggu malam itu harusnya memberikan dampak elektoral pada masing-masing capres.

Namun jika perilaku pemilih di Indonesia didominasi oleh karakter pemilih pragmatis, pemilih sosiologis, pemilih apatis dan pemilih psikologis, maka debat itu tidak memberikan efek apa-apa.

“Pemilih kritis atau pemilih rasional adalah pemilih yang dipengaruhi oleh tawaran visi dan misi capres. Mana visi yang paling rasional, paling implementatif dan masuk akal untuk memenuhi kebutuhan dari seorang pemilih atau kelompok tertentu maka calon yang empunya visi itu pasti akan dipilih,” katanya.

“Jadi dasar bagi seseorang dalam memilih adalah keyakinannya bahwa jika capres yang dipilihnya akan terpilih jadi presiden maka kebutuhan individu atau kelompok yang memilihnya akan terpenuhi,” sambung Dosen Kepemiluan Fisip Unsrat itu.

Walau demikian, lanjut Liando, populasi dari jenis pemilih ini sangat sedikit di Indonesia. Sebagian besar hanya oleh kalangan intelektual atau aktivis.

Perilaku pemilih di Indonesia sebagian besar masih didominasi oleh pemilih-pemilih pragmatis, sosiologis, apatis dan psikologis.

“Pemilih pragmatis akan ditentukan oleh imbalan yang ia terima. Tanpa imbalan maka ia tidak akan memilih,” ujarnya.

Liando mengatakan, pemilih sosiologis tidak melihat kapasitas calon tapi melihat pada kesamaan agama, kesamaan etnik atau kesamaan daerah.

Sebab dasar bagi seseorang dalam memilih adalah karena hubungan sosiologis itu.

Lagi pula, pemilih apatis adalah pemilih yang trauma dengan kondisi politik di masa lampau. Ia tidak pernah yakin bahwa siapapun presiden yang akan terpilih akan mampu mengubah nasibnya atau nasib bangsanya.

Sehingga dari sifat apatismenya itu menyebabkan ia tidak akan memilih siapapun.

“Pemilih psikologis adalah pemilih yang cenderung melihat pada kondisi fisik calon. Kapasitas bukan soal, yang penting ganteng dan berwibawa. Jenis pemilih ini besar didominasi oleh pemilih ibu-ibu dan gadis-gadis muda,” terangnya.

Satu-satunya kelompok pemilih yang diharapkan terpengaruh dengan hasil debat adalah swing voters. Mereka belum menetapkan pilihan sebelum debat selesai.

Namun itupun harus dijamin oleh materi visi dan misi masing-masing capres dan cawapres.

“Jika performa debat 1 dan 3 tidak diperbaiki oleh para kontestan maka hasil debat tidak akan berdampak signifikan pada elektoral kandidat tertentu.Debat yang tidak substantif, debat saling mengolok-olok dan debat adu siapa yang paling kuat menghafal tentu akan melahirkan debat tanpa efek elektoral,” jelas Liando.

(Editor: Jeffry Pay)

Berita Terkait

Top