Dana Hibah, Dana Heboh dan Efeknya di Pilkada Sulut


Foto: Kantor Polda Sulut dan Kantor Sinode GMIM 

Oleh Jeffry Pay

KASUS “dana hibah” benar-benar seperti bom waktu yang tiba-tiba jatuh di Sulut. Dan sudah pasti dana hibah itu jadi “dana heboh”. Apalagi dana hibah tersebut menjurus ke sasaran lembaga gereja terbesar di Sulut, yaitu GMIM. Dan yang disorot para penguasa di daerah ini.

Kapolda Sulut Irjen Pol Roycke Langie memang jadi fokus perhatian. Karena lembaga yang dipimpinnya itu berani untuk mengungkap apa sebetulnya yang terjadi di balik dana hibah yang memang cukup besar jumlahnya, baik dana transfer tunai, maupun berupa barang atau gedung. Awalnya disebut Rp. 16 M. Tapi kemudian diakui oleh pihak GMIM melalui Koordinator Bidang Humas GMIM Pnt Kombes (Purn) John Rori ada ratusan miliar yang diterima sejak 2018. Bahkan ada sumber juga yang mengungkapkan bisa mencapai triliunan.

Dana hibah ini memang makin heboh karena dikaitkan dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang sudah tinggal menghitung hari. Banyak isu beredar bahwa apa yang dilakukan Polda Sulut ini diduga merupakan pesan dari salah satu kontestan.

Namun Kapolda Sulut dengan tegas mengatakan, apa yang dilakukan Polda Sulut adalah merupakan perintah dari Presiden Prabowo Subianto sesuai Asta Cita.

Terlepas dari apakah tindakan Polda Sulut ini murni untuk penegakan hukum atau karena pesanan, tapi pengaruhnya terhadap jalannya proses Pilkada sudah pasti ada. Dan peta politik juga pasti berubah.

Hebohnya dana hibah ini, ada yang merasa diuntungkan dan ada yang merasa dirugikan. Baik dalam konteks Pilkada untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, maupun dalam konteks Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.

Yang merasa dirugikan tampaknya dari kubu PDIP. Karena bila dilihat dari benang merahnya, dana hibah itu berasal dari Pemprov Sulut yang top eksekutifnya adalah kader PDIP. Para pejabat yang terkait dengan aliran dana itu satu persatu dipanggil Polda Sulut untuk dilakukan pemeriksaan dan penyelidikan. Termasuk pula pimpinan Bank SulutGo sebagai bank penyalur.

Selain para pejabat sebagai pihak pemberi, juga pimpinan gereja sebagai pihak penerima mendapat panggilan Polda Sulut. Termasuk Ketua BPMS GMIM Pdt Hein Arina. Meskipun kedatangannya ke Polda Sulut masuk dalam Tipiter (tindak pidana tertentu) yang terkait dengan yayasan perguruan tinggi.

Dengan merebaknya kasus ini mengusik Calon Gubernur Sulut dari PDIP, yaitu Steven Kandouw. Ia bahkan memberikan statement bersedia mundur sebagai calon bila karena pencalonannya, GMIM diobok-obok karena dana hibah tersebut. Tapi pernyataan siap mundur itu tidak semudah diucapkan. Karena ada sanksi bagi calon kepala daerah yang mengundurkan diri.

Calon kepala daerah yang maju di Pilkada 2024 bisa terancam hukuman penjara paling lama 60 bulan dan denda hingga Rp50 miliar jika sengaja mengundurkan diri setelah penetapan pasangan calon kepala daerah oleh KPU.

Hal ini diatur dalam Pasal 191 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pilkada, yang berbunyi:

“Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan pasangan calon sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).”

Dengan kasus dana hibah ini, kubu PDIP memang makin tersudut. Apalagi tagline “ganti warna” terus bergema. Apalagi di lingkungan GMIM sendiri banyak yang tidak suka GMIM dijadikan alat politik.

Yang menarik pula Olly Dondokambey yang semula disebut-sebut bakal menjadi Menteri, akhirnya tidak menjadi kenyataan.

Di kubu Elly Engelbert Lasut dan Hanny Joost Payouw, juga terkena imbasnya. Karena Elly adalah Terpidana kasus korupsi. Dimana rakyat Sulut memang sudah muak dengan perilaku korupsi. Bahkan mereka yang merasa dirugikan oleh Elly Lasut berhubung dengan jabatannya selaku Bupati Talaud, menuntut agar kasus-kasus Elly juga diungkap.

Yang merasa diuntungkan sudah pasti kubu Yulius Selvanus dan Victor Mailangkay. Dimana-mana lewat pidato politiknya tampak Yulius merasa di atas angin. Bahkan terkesan arogan. Dan sikapnya seakan-akan sudah jadi pemenang. Ia dalam salah satu pernyataan mengatakan, dia adalah satu-satunya ‘Gubernur’ yang diundang Prabowo dalam acara pembekalan Kabinet. Lalu dibumbui dengan menjelekkan Olly Dondokambey.

Padahal tahapan Pilkada semua masih berproses, dan nanti tanggal 27 November 2024 pembuktiannya.

Kembali pada persoalan dana hibah, banyak kalangan berharap Polda Sulut harus tegas dan transparan. Kalau ditemukan memang ada penyimpangan atau penyalahgunaan, maka oknum-oknum yang terlibat harus diproses hukum sampai tuntas. Tidak peduli apakah dia pejabat Pemerintah atau pejabat gereja.

Memang Polda Sulut membutuhkan alat bukti yang cukup. Dan menurut pengamat hukum dan pengacara Dr Alfian Ratu, untuk menentukan apakah ada penyimpangan atau penyalahgunaan dalam hal tindak korupsi, setidaknya ada 3 indikasi. Yaitu, adanya suap, gratifikasi atau mark up. Dan itu harus ada alat bukti yang cukup. “Sebab biarpun ada puluhan saksi, tapi kalau tidak ada alat bukti, suatu perkara tidak bisa dilanjutkan,” tuturnya.

Dengan kasus ini banyak pelajaran yang harus kita petik bersama. Bahwa apa yang dilakukan oleh Polda Sulut ini merupakan tindakan positif. Karena warga GMIM maupun masyarakat umumnya menolak penyelewengan dana, dan anti korupsi. Apalagi untuk kepentingan politik kekuasaan tertentu.

Warga GMIM juga ingin transparansi dalam penggunaan dana, baik dana hibah, bantuan atau sumbangan, maupun persembahan yang diberikan jemaat. Sudah seharusnya Badan Pekerja Majelis Sinode GMIM memberikan contoh dalam pengelolaan dana yang masuk maupun keluar dengan memberikan laporan bulanan, sebagaimana juga dilakukan di tiap jemaat. Dan yang juga perlu dilakukan adalah Stop berpolitik dalam gereja. Karena gerejalah yang harus menggarami dunia politik dan bukan politik yang menggarami gereja.

(Jeffry Pay, seorang wartawan)

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top