Cerpen: Edelweis di Kaki Gunung Soputan

Oleh Jeffry Th. Pay
SUASANA liburan panjang baru saja tiba. Teman-teman sekolahku, baik yang sekelas denganku, maupun dari kelas lain, sudah mengajak aku untuk mengisi liburan dengan hiking atau mendaki.
Sebagai seorang pecinta alam, di masa SMA aku memang gemar ikut bersama teman-teman untuk beraktivitas berkaitan dengan alam. Bukan saja karena hobi. Tapi juga karena aku dari jurusan IPA, aku sangat ingin belajar dari alam itu sendiri. Aku terkesan dengan perjalanan ekspedisi yang pernah dilakukan si pencetus Teori Evolusi Charles Darwin, maupun ilmuwan biologi yang setara dengan Darwin, yaitu Allfred Wallace. Ilmuwan Wallace justru pernah tinggal di Langowan, tempat asalku.
Di saat liburan sekolah itu, teman-teman mulai mengusulkan beberapa tempat dan gunung yang ingin kami tuju. Dari beberapa usul itu, muncul gagasan untuk mendaki Gunung Soputan.
Latar belakang memilih Gunung Soputan, memang cukup beralasan. Karena di saat itu orang ramai membicarakan tentang bunga Edelweis. Dan menurut informasi, bunga Edelweis banyak tumbuh di kaki Gunung Soputan.
Aku sendiri sebetulnya tidak mengerti soal bunga Edelweis.
Dari berbagai ucapan teman-teman, aku baru mengerti betapa romantisnya bunga ini.
Mereka bilang bunga ini adalah lambang cinta abadi. “Mengapa dibilang begitu. Karena bunga ini tidak pernah layu,” ujar Ilham teman sebangkuku.
Kalau soal cinta, Ilham ini punya seribu cerita. Ia seorang penggemar sastra. Dan dia bilang, bunga Edelweis akan sangat berarti kalau diberikan kepada orang yang kita cintai.
Tapi sayang sekali, Ilham memang tidak bisa ikut, karena ia memang tidak bisa berjalan normal. Berhubung kakinya yang satu, terpaksa memakai penopang kayu, karena ia pernah mengalami luka di bagian kakinya.
Cerita tentang Edelweis itu, mendorong aku untuk mengiyakan tawaran teman-teman. Maka pada suatu hari, di saat liburan itu berangkatlah kami menuju Gunung Soputan. Aku melihat teman-temanku ada yang berpasangan karena pacaran. Tapi banyak juga yang seperti aku, bujangan.
Sebagai seorang remaja, aku juga normalnya memiliki rasa cinta. Tetapi rasa cinta itu aku pendam. Pertama, karena aku tau diri. Aku ini orang tak berpunya. Seperti yang Ebiet G Ade nyanyikan, *..tak ada yang dapat kubanggakan..”. Dapat dikatakan aku adalah seorang yang rendah diri atau minder. Tapi karena rasa minder itu membuat aku untuk selalu rendah hati.
Kedua, aku ini serba salah. Karena ada yang menilai aku play boy. Persoalannya, mereka melihat banyak teman-teman wanita yang selalu ingin dekat dengan aku. Baik yang seangkatan, maupun adik kelas.
Tidak heran, mataku pernah digosok dengan balsem oleh teman wanita sekelasku. Aku tau dia sebetulnya juga naksir aku. Tapi karena ia melihat banyak gadis lain yang akrab dengan aku, maka ia jadi cemburu. Lucunya, saat aku kebingungan mencari air untuk membersihkan mataku, seorang gadis, adik kelasku datang menolong memberikan air untuk mataku.
Ah biarlah itu menjadi kenanganku saja.
Kamipun mulai menusuri jalan menuju Gunung Soputan. Kami memilih melewati jalan dari Desa Noongan, kemudian menuju Gunung Manimporok. Karena untuk tiba di Gunung Soputan, kami harus melewati Gunung Manimporok.
Tak terasa kami sudah mendekati Gunung Soputan. Keindahan alam sekitar Soputan mulai terasa. Setelah melewati hutan pinus, kamipun tiba di daerah berpasir.
Banyak teman-teman yang sebetulnya sudah ingin mencari bunga Edelweis. Tapi akhirnya semuanya sepakat untuk mendaki dulu.
Maka satu persatupun mulai mendaki. Yang jadi enak untuk dipandang, bukan saja Gunung Soputan yang berpasir dan berbatu-batu, tapi juga keindahan melihat mereka yang lagi pacaran. Aku melihat mereka bergandeng tangan untuk saling menopang.
Sebagai seorang pecinta sastra, aku juga sering membaca cerita-cerita romantis di masa SMA. Ada cerita tentang indahnya cinta, tapi banyak juga cerita-cerita yang memilukan, karena putus cinta atau cinta yang tak sampai.
Cerita cinta abadi “Romi dan Juli” yang dikarang Shakespeare sudah melegenda. Tapi ada juga cerita “cinta tak sampai” seperti roman “Sayap-sayap Patah” oleh Kahlil Gibran. Dan ada juga kisah romantis yang dikarang seorang pastor YB Mangunwijaya yang berjudul “Burung-burung Manyar”.
Selesai kami menggapai puncak Soputan, kami akhirnya turun satu persatu, dan ada yang berpasangan. Sesampai di kaki Gunung Soputan, semua ramai mencari bunga Edelweis.
Aku juga mendapatkan beberapa tangkai. Bentuk bunganya memang kecil. Aku pun merasa kagum dengan bunga yang berwarna putih kekuningan ini. Tapi bunga Edelweis ini aku mau berikan kepada siapa? (Tamat).