Catatan Kritis: Anomali dan Tidak Linier


Oleh Joppie Worek 

TAMPIL di podium menerima penghargaan dan gelar akademik dan gelar kehormatan akademik, menjadi trend para pejabat publik di Sulawesi Utara beberapa tahun belakangan ini.

Dari berbagai laporan, 2,6 juta penduduk Sulawesi Utara dalam beberapa tahun terakhir ini tidak sedang baik – baik saja. Jika rakyat tidak sedang baik baik saja, tentu menjadi aneh kalau pemimpinya bertaburan gelar dan penghargaan dari luar.

Saya membaca ada penyakit anomali kepemimpinan yang sedang mewabah di podium kekuasaan Sulawesi Utara.

Anomali itu digambarkan dari beberapa peristiwa aneh dan timpang. Disadari atau tidak, menjadi lucu dan aneh, atas nama demokrasi serombongan keluarga dihadirkan menguasai simpul dan ceruk kekuasaan politik.
Serakah kekuasaan itu akan menjadi kekelaman sejarah politik di Sulawesi Utara. Padahal mereka membawa panji-panji kerakyatan nasionalisme dan demokrasi.

Menjadi lucu dan aneh, kalau elite kekuasaan memiliki kegemaran dipuja – puji publik karena sederet gelar dan penghargaan akademik. Padahal beberapa penghargaan dan gelar itu didatangkan dari luar, bukan dari rakyat. Mereka seperti lupa bahwa mereka dipilih oleh rakyat dan semestinya diapresiasi oleh rakyat.

Tidak jelas, apakah pemimpin kita exited saat menerima penghargaan dan gelar bukan dari rakyat yang memilih mereka. Patutlah mereka menjadi malu ketika hanya menyenangkan diri sendiri.

Sepatutnya pemimpin exited ketika bersama rakyat mengatasi kemiskinan matrial dan imatrial. Berempati dan bergembira bersama rakyat karena bisa berjuang bersama mengatasi persoalan.

Menjadi lucu dan aneh, jika pemimpin pilihan rakyat membanggakan diri sendiri di depan rakyat yang makin susah cari makan, susah akses pendidikan dan kesehatan. Gesekan antara eksklusifitas elite dengan kompleksitas persoalan kerakyatan kini sudah sangat nyata sebagai anomali.

Harga kebutuhan meroket dan memicu inflasi, kemiskinan bertambah, pengangguran bertambah, lapangan kerja terbatas, oligarki kekuasaan menggurita, hedonisme dan materialisme merebak, kriminalitas, mafia tanah, mafia proyek, kasus korupsi, tambang liar, degradasi ekosistem dan ragam persoalan sosial lainnya, nyata makin membebani rakyat. Semua itu dengan mudah kita temukan diekspresikan rakyat di berbagai media publik.

Bersamaan itu, pesta – pesta mewah hedonisme juga dipertontonkan para elite saat bersamaan rakyat bergelut dengan persoalan sosial.

Tidak linier-nya penampilan elite dengan fakta sosial kemasyarakatan di Sulawesi Utara ini tentu akan menghasilkan bentangan jurang antara rakyat dan pemimpinnya.

Ketika generasi muda produktif sulit mencari kerja di negeri sendiri, saat bersamaan sekelompok elite kekuasaan memonopoli simpul – simpul potensial.

Sebuah ironi kini terpampang terang benderang di tengah publik Sulawesi Utara. Politik, bisnis, pemerintahan, dan kelembagaan dominan mereka borong tanpa malu-malu. Ini keserakahan yang mereka dianggap biasa, tetapi memuakkan rakyat.

Para elite seperti berlomba pamer villa mewah, pesta mewah, pelesir ke LN, pamer menumpang pesawat pribadi.; sudah sering jadi tontonan. Ini mereka lakukan bersamaan dengan tingginya angka prevalensi stunting di Sulawesi Utara. Berdasarkan hasil survei status gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, angka prevalensi stunting Sulut sebesar 20,5 persen. Tertinggi di Boltim sebesar 30 persen.

Lembaga – lembaga pendidikan sebagai alamat rujukan tampaknya juga hanyut dengan skenario oligarki. Padahal, lembaga pendidikan sejatinya menjadi tumpuan kemajuan, kesetaraan, demokrasi dan keadilan. Lembaga pendidikan seperti menjadi subordinat kekuasaan politik.

Lantas, kepada siapa rakyat menaruh harapan masa depannya. Kepada pemimpin yang semakin lupa diri dan berjarak dengan rakyat, tentu saja tidak.

Kepada para guru dan akademisi sebagai soko guru pembangunan dan perubahan, mereka juga sudah terkontaminasi lincahnya kekuasaan politik memainkan nafsunya.

Lembaga – lembaga informal keagamaan juga ikut menari bersama – sama mabuk menikmati kue dan anggur manis kekuasaan politik.

Kepada siapa lagi rakyat bercermin soal etika dan moral, jika pemimpin keagamaan sibuk berdansa dan mabuk bersama kelompok bourjois kekuasaan.

Umat seperti tak punya tempat bertanya tentang moralitas karena para imam telah berjarak jauh lebih dengan umat tetapi lengket dengan elite kekuasaan.

Sulawesi Utara adalah daerah yang tidak terlalu besar untuk menyembunyikan ketimpangan dan ketidakadilan sosial. Apalagi di era tekhnologi informasi sekarang ini, ketidakadilan dan ketimpangan sedemikian cepat direkam dan disebarkan.

Harapannya adalah : Kita memerlukan kesadaran bersama, kita memerlukan kondusifitas sosial yang dinamis tetapi seimbang. Kita memerlukan linieritas atau kesesuaian sosial antara pemimpin dengan yang dipimpin.

Kondisi dinamis dan linier akan menjadi energi kebersamaan bergerak maju keluar dari kesulitan. Di negara demokrasi nafsu politik sejatinya tidak bisa bergerak seperti gerakan kapitalisme yang memborong semua peluang dan simpul kekuasaan. Diperlukan kearifan mendistribusikan ceruk kekuasaan secara seimbang dan merata. Janganlah menjadi “pemborong” kue kehidupan masa depan dalam tontonan rakyat yang sedang sakit.

Semoga kalian yang dihadirkan rakyat di podium kekuasaan semakin sadar bahwa gerakanmu, penampilanmu, ekspresimu tidak linier dengan fakta dan geliat dan gelisah rakyatmu. Tidak linier dengan pergumulan dan beban rakyatmu. (*)

*Penulis seorang jurnalis senior 

Berita Terkait

Top