Biografi Riedel dan Schwarz, ‘Rasul Minahasa’ yang Tiba di Manado 12 Juni 1831


SETIAP tanggal 12 Juni warga gereja di Tanah Minahasa merayakan Hari Ulang Tahun Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen di Minahasa. Dan pada tahun 2023 ini dirayakan sebagai HUT yang ke 192. Hal itu didasarkan pada sejarah kedatangan kedua penginjil yaitu Johann Frederick Riedel dan Johann Göttlieb Schwarz di tanah Minahasa Pada 12 Juni 1831. Keduanya bisa dijuluki sebagai Rasul Minahasa. Karena keduanya adalah penginjil yang mengabdikan dirinya di Minahasa sampai akhir hidupnya. Kedua penginjil ini juga dimakamkan di tanah Minahasa. Berikut biografi kedua penginjil tersebut:

JOHANN FRIEDRIC RIEDEL

Lahir di Erfurt Jerman 1798; mulanya sebagai tukang jahit. Pada tahun1822 (umur 23 tahun) mulai bergabung dengan Zending. Setelah dididik di Jaenicke, berangkat ke tanah Hindia Belanda bersama Johann Gottlieb Schwarz (23 Nopember 1829). Pada 12 Juni 1831 melalui Ambon tiba di Manado. Sesudah belajar bahasa makatana beberapa bulan di Manado dibimbing oleh pendeta Hellendoorn, Riedel mulai berkarya di Tondano sejak 14 Oktober 1831. Dr. Kruijf menulis bahwa Riedel datang di Tondano yang masih merupakan perkampungan baru bagi orang-orang pindahan dari kampung di atas air tahun 1809 sesudah perang di Danau Tondano (di Minawanua). Belum ada rumah tetap baginya, kecuali rumah yang dipinjamkan pemerintah. Terdapat sebuah gereja kayu kecil, jemaat berjumlah 200 orang. Pada hari Minggu hanya sepersepuluhnya yang hadir di gereja. Kebanyakn masih tinggal dalam gubuk di ladang-ladang padi. Kebanyakan belum mengerti apa itu hari minggu.

*PEKABARAN* Injil dan Pendidikan Kristen di Minahasa tak lepas dari dua sosok yang diutus Tuhan untuk daerah ini, yakni Johann Friedrich Riedel dan Johann Göttlieb Schwarz. Pada 12 Juni 1831 kedua warga Jerman itu tiba di tanah Minahasa dan hari itu dipakai sebagai peringatan Hari Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen di Minahasa yang saat ini sudah menginjak tahun ke-192.  Riedel tiba dan menetap di Tondano pada tanggal 14 Oktober 1831.

Seperti dikutip dari karya AF Parengkuan GMIM dan Penginjilan, saat kedatangan Riedel, pengenalan orang Tondano akan kekristenan masih kurang. Banyak orang hidup tidak tertib. Karena itu pula usaha pertama Riedel dalam kegiatan penginjilan adalah memberi perhatian pada sekolah yang sudah ada. Baginya, keteraturan, kebersihan dan kesopanan dapat diajarkan melalui pendidikan agama.

Dengan topangan istrinya, Riedel mengadakan pendekatan terhadap orang kampung. Ia menerima mereka di rumahnya, mengadakan percakapan mengenai kehidupan sehari-hari dan ia juga melakukan kunjungan ke rumah-rumah. Setelah keakraban terjalin barulah Riedel mengalihkan perhatian orang-orang Tondano kepada pengajaran Kristen.

Orang Tondano ternyata menerima. Selain jumlah mereka yang mengikuti kebaktian semakin banyak, perkembangan di bidang pendidikan semakin tampak oleh banyaknya anak-anak yang rajin ke sekolah. Riedel memanfaatkan antusias jemaat itu dengan menyelenggarakan kelompok belajar Alkitab. Melalui pendidikan kepada anak-anak maka keteraturan dalam kehidupan masyarakat semakin lama semakin baik. Pengajaran yang disuguhkannya kepada jemaat telah mendorong banyak orang memberi diri dibaptis. Perlu dicatat pembaptisan dilakukan setelah para calon baptisan mengikuti pelajaran khusus setiap sore.

Karya Riedel tak sia-sia, terbukti hingga sekarang warga Tondano dan sekitarnya hidup dengan Injil dan pendidikan Kristen yang dibawanya. Riedel yang lahir di Jerman 8 Juni 1798 wafat di Tondano pada 12 Oktober 1860. Tubuhnya menyatu dengan tanah yang dilayaninya. Riedel dimakamkan di Tempat Pekuburan Umum di Kelurahan Ranowangko Lingkungan IV Kecamatan Tondano Timur.

Makam Riedel berada di tengah-tengah TPU, dari pinggir jalan memasuki jalan setapak yang sudah dicor beton selebar setengah meter. Setapak itu berujung pada sebuah makam putih, tampak megah,  jauh berbeda dengan kuburan di sekitarnya. Makam itu beratap beton dengan tiang beton penyangganya, ada lima pusara di situ. Riedel dimakamkan bersama empat anggota keluarganya, AS Rooker Geb Riedel, H Rooker, H W Nooij dan Ds Joh Kawengian. Tulisan di kelima pusara  klasik, dengan ejaan tempo dulu. Pusaranya tak seperti sekarang  diukir di keramik, tulisan pada kelima pusara itu diukir di beton yang menyatu  dengan keseluruhan badan makam.

JOHANN GOTTLIEB SCHWARZ

Lahir di Koningsbergen Jerman, 21 April 1800; mula-mula sebagai tukang sepatu. Pada tahun 1822, bersama-sama dengan Riedel dididik di Jaenicke, lalu pada 1827 keduanya ke Rotterdam. Pada 23 Nopember 1829 bertolak ke Hindia Belanda dan tiba di Ambon 7 Januari 1832. Setelah belajar bahasa daerah beberapa bulan di Manado, ia dan Riedel diajak pendeta Hellendoorn ke Langowan dan sekitarnya untuk mencari tempat cocok untuk dijadikan pos. Walau memilih Langowan namun untuk sementara waktu harus tinggal di Kakas. Pada tahun-tahun awal ia mendapat perlawanan dari ulama-ulama (Walian) Alifuru yang diam-diam disokong oleh Mayoor Langowan. Setelah Mayoor tersebut dipecat pemerintah, karya pendeta Schwarz mulai berkembang. Terlebih setelah pemerintah melarang semua peranan para walian.

Alkitab adalah bacaannya sehari-hari, cerita misi adalah cerita kesukaannya, dan menjadi misionaris adalah cita-citanya. Itulah Johann Gottlieb Schwarz. Ia lahir pada tanggal 21 April 1800 di kota Konigsbergen, Jerman Timur.
Orang-tuanya yang saleh dan taat, sangat mendukung ketika ia memutuskan akan pergi belajar di “Zendeling Intitut” yang dibuka untuk mendidik pendeta-pendeta penginjil di kota Berlin yang didirikan oleh Ds. Jaeke.
Pada bulan November 1830 NZG (Nederlandsch Zendeling Genootscahp) mengirim Johann Frederick Riedel ke Indonesia. Bersama dengan Douwes Dekker, ia meninggalkan Belanda menuju dan sampai di Batavia (Jakarta). Kemudian ia ke Surabaya, dan tiba di Ambon pada tanggal 23 November 1830. Di sana ia belajar bahasa Melayu. Pada tanggal 12 Juni 1931 ia dan Riedel tiba di Manado. Sekarang tanggal 12 Juni diperingati Gereja Masehi Injil di Minahasa sebagai HUT Pekabaran Injil.
Sebelum agama Kristen masuk ke Langowan, penduduk di sana sudah beragama suku. Pada waktu kedatangan Schwarz, penduduk Longawan memiliki tempat berkumpul untuk mengadakan upacara keagamaan mereka. Di tempat itu terdapat sebuah pohon besar yang dalam bahasa Tountemboan disebut wates.
Pohon itu berdaun lebat dan pada batangnya terdapat lobang besar yang dalam bahasa Toutemboan disebut rangowa. Pohon itu dianggap keramat sebab menjadi tempat pasoringan (dari asal kata soringan yang berarti alat bunyi yang dibuat dari bambu yang diberi lobang dan jika ditutup analog dengan bunyi wala/burung manguni). Jadi, pasoringan berarti tempat memanggil dan mendengarkan bunyi burung wala oleh Walian dan Tona’as atau pemimpin-pemimpin pemerintahan. Tempat pemujaan agama suku itulah yang oleh pekerjaan penginjilan Schwarz, berubah menjadi Gereja tempat orang memuji Tuhan Yesus Kristus (sekarang Jemaat Sentrum Schwarz Langowan).
Schwarz sangat rajin dan memiliki karakter yang baik. Dengan tidak henti-hentinya ia mengendarai kuda dari Langowan ke Minahasa Selatan, dan Minahasa Utara sampai ke Likupang. Siang dan malam sama saja baginya untuk menunaikan tugasnya sebagai seorang penginjil. Badannya yang gemuk tidak menjadi halangan baginya.
Schwarz juga menemukan kesulitan ketika memberitakan Injil, yaitu masalah bahasa. Untuk dapat berkomunikasi dengan penduduk, Schwarz memberikan obat-obat malaria, demam, obat-obat luka, dan lain-lain yang dapat menolong orang-orang sakit dan sebagai penentang mantra dari walian-walian.
Femmitje Constans, anak dari opziener kopi di Kema, menikah dengannya pada tahun 1834. F. Constans mahir menggunakan bahasa Melayu, Tombulu, Tonsea, dan Tountemboan. Ia adalah orang yang dikirim Tuhan untuk menolong Schwarz bercakap-cakap dengan orang sakit, dengan penduduk yang dikunjunginya dalam bahasa daerah.
Setelah hambatan bahasa diatasi, Schwarz masih harus menghadapi Kepala Walak (pemerintah), Majoor Sigar, yang masih beragama alifuru dan istrinya, Walian Tulus, (pemimpin agama). Akibatnya, dari tahun 1832 sampai 1833 orang yang dibaptis baru 6 orang. Pada akhir tahun 1839 orang yang sudah dibaptis menjadi Kristen menjadi 212 orang. Dan Majoor Sigar menjadi Kristen pada tahun 1841 dengan nama Benyamin Tawalijn Thomas Sigar. Segera ia diikuti oleh orang-orang Langowan, sehingga sejak itu agama Kristen berkembang pesat di Langowan. Pada bulan September 1842 di Langowan yang sudah dibaptis ada sekitar 300 orang.
Pada akhir tahun 1848 pelayanan Schwarz mencakup Langowan, Ratahan, Kakas, Remboken, Tompaso Kawangkoan, dan Sonder. Sudah terdapat 15 sekolah dengan jumlah muridnya kurang lebih sebanyak 1300 orang. Jumlah anggota sidi jemaat ada kira-kira 1.000 orang dan jumlah baptisan kurang lebih 3.000 orang.
Bangunan gereja yang pertama-tama di Langowan ditahbiskan pada tanggal 18 April 1847. Sekarang di tempat itu terdapat gereja GMIM Sentrum Schwarz, padahal dahulu adalah pusat agama alifuru.
Pada tanggal 12 Juni 1856 diadakan perayaan 25 tahun Johan Gottlieb Schwarz masuk ke Minahasa. Perayaan itu diadakan di gedung gereja yang pertama dan satu-satunya di Langowan pada masa itu.
Tiga tahun setelah perayaan itu Johann Gottlieb Schwarz meninggal dunia di Manado pada 1 Februari 1859. Ia dimakamkan di Langowan pada tanggal 2 Februari 1859. Kuburan Schwarz bersama istrinya sekarang ada di lapangan olah raga GMIM Langowan.

Berita Terkait

Top