Biografi Pdt. Dr. Hein Arina, Ketua Sinode GMIM
Pdt Dr Hein Arina:
Dibesarkan di Kebun, Tak Menyangka Bisa Raih S3 dan Jadi Ketua Sinode
SETIAP orang punya jalan cerita kehidupannya. Suka duka dalam menapaki kehidupan, akan menjadi catatan kenangan. Sebagaimana juga yang dialami Pdt Dr Hein Arina , MTh.
Siapa menyangka, di masa kecil hidup lebih banyak di kebun, dan tinggal di desa terpencil, akhirnya bisa meraih pendidikan tertinggi (S3) dan juga terpilih sebagai Ketua Sinode GMIM.
Pdt Arina yang dilahirkan di Desa Temboan, Kecamatan Langowan Selatan, di masa kecil sangat merasakan kehidupan yang penuh dengan tantangan dan kesulitan.
Di masa kecil ia sendiri sudah harus membantu ayah dan ibunya berkebun. Dan karena desakan kebutuhan hidup mereka harus tinggal di kebun. Mereka berkebun pun harus berpindah-pindah (nomaden). Hanya di hari Minggu saja mereka pulang di kampung.
Mereka kakak beradik berjumlah 11 orang, dan Pdt Arina adalah anak ke-8.
Oleh karena situasi sulit pada masa itu ia sendiri nanti masuk sekolah SD saat berumur 9 tahun. Untuk bersekolah pun harus jalan kaki sejauh 6 km. Karena di desanya Temboan belum ada sekolah. Mereka harus bersekolah di desa tetangga, yaitu Desa Palamba. Tapi juga dalam waktu-waktu tertentu ada sekolah jarak jauh yang diadakan di gereja Temboan.
Dari kelas 1 hingga kelas 6 hanya ada satu guru. Dan kelas tempat belajar pun hanya satu. Ruang belajarnya di dalam gereja. Jadi murid kelas 1 hingga 6 duduk bersama. Dan untuk pelajaran dibagi dalan 6 kolom di papan tulis. Jadi murid kelas 1 belajarnya di kolom 1, murid kelas 2 di kolom 2, dan begitu seterusnya. Tapi untuk kenaikan kelas tergantung kemampuan siswa. Kalau siswanya pintar, maka kelasnya bisa loncat. Jadi tidak reguler seperti sekarang ini. “Saya sendiri tidak sampai 6 tahun duduk di SD. Hanya 4 tahun di SD. Dan lulus tahun 1977,” jelasnya.
Menjelang ujian akhir SD mereka harus jalan kaki ke Atep. Karena ujian SD dipusatkan di Atep untuk beberapa desa sekitar Langowan Selatan.
Pdt Arina menyelesaikan studi di SD tahun 1977. Kemudian melanjutkan studi di SMP di Sonder dari kelas 1 hingga pertengahan kelas 3. Dan di saat kelas 3 menjelang ujian akhir SMP, ia pindah ke SMP N 2 Langowan. Ia sempat bersekolah di Sonder, karena ibunya berasal dari Sonder. Kemudian lulus tahun 1981. Di SMP ditempuh selama 3 1/2 tahun, karena ada penambahan setengah tahun yang mengubah tahun ajaran di setiap tengah tahun. Saat duduk di kelas 3 SMP tahun 1981 ayahnya meninggal dunia.
Selanjutnya dengan susah payah ia melanjutkan sekolah di SMA N Langowan, dan lulus tahun 1984. Tak terbayangkan mereka harus jalan kaki dari Temboan ke SMA yang terletak di Sumarayar, Langowan Timur.
Di saat duduk di kelas 3 SMA, Pdt Arina dkk mengikuti katekisasi sidi. Kala itu pengajar sidi (katekeit) adalah Pdt Marthen Supit, STh, sebagai Ketua Wilayah GMIM se Langowan. Saat itu Langowan masih satu wilayah gereja.
Di saat sidi itu semua peserta sidi ditanyakan apa cita-cita-citanya oleh Pdt Supit, dan dijawab secara tertulis dalam daftar isian.
Meskipun sebenarnya tidak serius merencanakan masuk pendeta, tapi untuk mengisi kolom cita-cita, Hein Arina menuliskan cita-cita: Pendeta. Itupun hanya untuk menyenangkan hati pengajar sidi yang adalah pendeta.
Rupanya Pdt Supit sebagai pengajar (katekeit) sidi tertarik dengan cita-cita Hein Arina. Ia kemudian menemui Hein Arina untuk menanyakan apakah memang benar berkeinginan untuk menjadi Pendeta? Dan dijawabnya iya, tapi ia mengaku tidak punya dana untuk kuliah. Karena saat itu untuk menjadi pendeta membutuhkan biaya yang besar. “Sebagai anak dari keluarga petani yang berkekurangan, tentu sangat tidak mungkin bagi saya dapat melanjutkan studi pendeta.”
Tapi ternyata Pendeta Marthen Supit kemudian mengusahakan agar Hein Arina memperoleh bea siswa dari seluruh gereja GMIM yang ada di wilayah Langowan Raya. Dan upaya itu mendapat dukungan dari jemaat-jemaat yang ada di Langowan. Bea siswa itu diperoleh dari persembahan berupa kolekte ekstra setiap Minggu ke-4. Bea siswa itu untuk membayar SPP sebesari Rp 17.500 dan asrama Rp. 20.000. Jadi seluruhnya Rp. 37.500. “Tapi wilayah memberikan ke saya Rp. 45.000. Jadi waktu itu setelah bayar SPP dan uang asrama sudah dengan makanan, masih tersisa saldo Rp. 7500. Di saat itu nilai uang sangat berharga,” jelasnya.
Berbekal bea siswa itulah ia kemudian masuk kuliah di Fakultas Theologi UKIT setelah lulus SMA tahun 1984. “Itulah cara dan jalan Tuhan yang dapat mengubah jalan hidup saya. Dan Tuhan memakai orang-orang tertentu, dalam hal ini Pdt Marthen Supit untuk bisa membuka jalan bagi hidup saya,” tuturnya lagi.
Ia menempuh masa kuliah selama empat tahun lebih di UKIT, dan lulus bulan Mei tahun 1989. Selanjutanya di tahun yang sama menjalani masa vikariat di Jemaat Wewelen Tondano pada bulan Oktober 1989. Tapi sebelum menjalani masa vikariat, ia menikah bulan Agustus 1989 dengan Pdt Vanny Suoth.
Selesai vikaris, ia diteguhkan sebagai Pendeta pada bulan Desember 1989 di gereja Wewelen, dan selanjutnya diangkat sebagai Ketua Jemaat GMIM Kamasi, Tomohon.
Ia menjadi ketua jemaat di Kamasi selama 7 tahun, dari 1989 hingga tahun 1986. Sementara menjadi ketua jemaat, istrinya menjadi guru di STM Kaaten Tomohon, sebagai pendeta sekolah.
Tapi pada tahun 1991, ia harus mengikuti studi lanjut S2 di Korea Selatan, yaitu di Presbitherial Theologi Seminary yang ada di Seoul dengan bea siswa gereja.
Oleh karena mengikuti studi lanjut itu, jabatan ketua jemaat Kamasi diserahkan kepada istrinya.
Ia menempuh masa studi S2 di Korea selama 2 tahun. Sedangkan untuk studi S3-nya nanti ia lanjutkan pada tahun 2000. “Jadi sepulangnya dari studi S2, saya diminta mengajar di UKIT selama 6 hingga 7 tahun. Dan balik lagi tahun 2000 ke Korea untuk studi lanjut S3 di perguruan tinggi yang sama,” jelas Pdt Arina yang dikaruniai tiga orang anak.
Setelah menyelesaikan S3 ia kembali tahun 2003, dan mengajar lagi di UKIT. Kemudian tahun 2005 mencalonkan diri untuk jadi anggota Badan Pekerja Sinode (BPS), tapi belum terpilih. Tapi tahun 2007 ia terpilih menjadi Rektor UKIT. Namun sebelum menjadi Rektor, ia menjadi Dekan Fakultas Theologi di tahun 2006.
Di tahun 2010, ia kembali mencalonkan diri menjadi BPS, tapi belum juga terpilih. “Nanti tahun 2014 mencalonkan diri lagi, dan menjadi Wakil Ketua BPS Bidang Misi,” ujarnya lagi.
Di tahun 2015 ia berhenti menjadi Rektor UKIT. Dan tahun 2018 ia kemudian terpilih menjadi Ketua Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS), menggantikan Pdt Dr HWB Sumakul.
Dalam perjalanan hidupnya melayani Tuhan, ia menambahkan, sangat merasakan kebahagiaan menjalani panggilan melayani. “Karena di dalam melayani Tuhan itu, saya merasa bahagia bisa menjadi berkat bagi banyak orang,” tuturnya.
Berkaitan dengan suka duka yang ia rasakan, menurut dia, lebih banyak sukanya. Memang ada duka dan kesusahan yang ia alami. Tapi itu hanya tergantung dari pribadi. Soal kesusahan itu terkait dengan konsistensi panggilan. “Kita akan mengalami dan merasakan kesusahan kalau kita tidak konsistensi dalam menjalankan panggilan.”
Dalam mengatasi masalah-masalah yang terjadi dalam internal GMIM, menurut dia, hal itu bisa dihadapi dengan menerapkan Tata Gereja dan keputusan Sidang Sinode. “Jadi kalau ada masalah-masalah, maka kita kembali melihat apa yang diatur dalam Tata Gereja dan apa-apa saja yang merupakan keputusan Sidang Sinode,” jelasnya.
TANGGAL KELAHIRANNYA YANG UNIK
Pdt Hein Arina juga menceritakan tanggal kelahirannya yang unik. Secara administratif ia tercatat lahir 27 Mei 1964. Tapi sebenarnya ia lahir tanggal 6 Mei 1964 di Desa Temboan, Kecamatan Langowan Selatan.
Hal itu terjadi karena orang tuanya terlambat mendaftarkan hari lahirnya dalam pencatatan sipil dan kependudukan di Langowan. Hal ini dimaklumi pada saat itu mereka tinggal jauh dari pusat kecamatan Langowan.
Karena sudah tercantum di aktenya tanggal 27 Mei 1964, maka ia harus memakai tanggal itu sebagai hari lahirnya. “Untuk merubahnya sudah susah, karena semua identitas diri saya, termasuk ijasah dan kartu penduduk, tertulis demikian.”
Mengenai keterpanggilannya menjadi pendeta, menurut dia, karena sejak kecil orang tuanya sudah mengajarkan nilai-nilai kekristenan. Karena ayahnya dulu pernah menjadi syamas, penatua, bendahara jemaat, kemudian jadi ketua jemaat. Bahkan pernah pula menjadi Hukum Tua di Temboan.
Karena ayahnya adalah majelis gereja, sudah tentu mereka mendapatkan edukasi yang didapatkan dari ayah dan ibunya. “Motivasi untuk menjadi orang yang berguna mulai tumbuh dari dalam keluarga kami, karena lingkungan keluarga kami dibesarkan dari keluarga pelayan Tuhan dan pelayan masyarakat,” katanya lagi.
Di masa kecil, tambahnya, ia merasa bangga kalau mereka dikunjungi Pendeta dari Langowan kota. Saat itu pendeta di Langowan masih sangat sedikit. “Saya masih ingat, pendeta yang pernah mengunjungi jemaat kami di Temboan adalah Pendeta Massie dan Pendeta Waworuntu. Kalau mereka datang di rumah kami, itu sangat membanggakan,” ujar Pdt Arina.
Ia menambahkan, ayahnya sebagai ketua jemaat dan hukum tua, karena banyak bergaul dengan pendeta dan juga camat, sehingga wawasannya luas.
“Jadi pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh ayah kami, ia bagikan kepada kami anak-anaknya. Karena itu kami termotivasi untuk belajar dan meraih cita-cita dengan sekuat tenaga.”
Dengan pengalaman hidup yang ia alami sejak kecil, memberikan rasa syukur baginya, betapa Tuhan mengasihi dia dan keluarganya, sehingga boleh menjadi berkat. (Jeffry Pay)