Berita Duka: Perancang Busana Thomas Sigar, Sepupu Presiden Prabowo Meninggal Dunia

JAKARTA, CahayaManado.com–Perancang busana terkenal Thomas Sigar meninggal dunia hari ini Selasa 17 Desember 2024 di Jakarta. Almarhum Thomas Sigar merupakan keluarga dekat Presiden Prabowo Subianto.
Dalam garis keturunan keluarga Sigar, Almarhum Thomas Sigar merupakan salah satu keturunan mantan Kepala Distrik Langowan Benyamin Thomas Tawalijen Sigar, sama seperti Prabowo Subianto yang merupakan Sepupu almarhum.
Thomas Sigar dikenal sebagai Perancang busana yang produktif. Thomas Sigar selain merancang busana modern, ia juga banyak mengangkat tema tenun tradisional dari berbagai daerah di Indonesia.
KEMBALIKAN TENUN MINAHASA
Sebagaimana dikutip dari okezone.com, Thomas Sigar semakin mengukuhkan eksitensinya sebagai desainer yang mengangkat kembali kain Nusantara. Di tahun 2011 lalu, ia memilih tema tenun Minahasa.
Tenun Minahasa pernah lenyap sejak 200 tahun lalu. Hal itu membuat masyarakat Minahasa meminjam kain tenun daerah tetangga atau batik dari Jawa. Kini, kain tenun tersebut hadir kembali melalui kreasi Thomas Sigar.
Melalui “The Enchanting Culture of Minahasa”, Thomas mempersembahkan kain tenun sutera motif patola dan patola cetak tangan di atas sifon dan sutera yang bernapaskan etnik modern.
“Ada unsur Minahasa asli yang dipresentasikan melalui kain tenun dan print, sutera, dan kain patola. Dari masing-masing motif ada namanya, selalu ada nama kaiwu (tenun). Perlahan-lahan mendekati motif asli dan pandangan mengenai kain ini (kain Minahasa),” kata Thomas Sigar saat berbincang dengan media sebelum pergelaran “The Enchanting Culture of Minahasa”, Ballroom XXI Jakarta Teater, Jakarta, Kamis (30/6/2011).
Perancang busana berdarah Manado tersebut merupakan tokoh yang menemukan kembali motif-motif lama tenun Minahasa. Sejak 2005, bersama Benny J Mamoto dari Institut Seni Budaya Sulawesi Utara (ISBSU), Thomas memprakarsai kebangkitan tenun Minahasa. Pria bersahaja ini bergerak mulai dari riset buku hingga penelitian lapangan.
“Kita mencoba agar motif-motif asli itu dipertahankan. Kalau kain Minahasa biasanya banyak pakai motif duyung. Kita mencoba cari dari buku-buku luar negeri agar kita dapat mengambil kembali motif lain, misal guratan-guratan dari batu yang dibuat jadi tenunan,” papar Thomas yang pada 1973-1974 belajar di Ecole Superieure d’Arts Graphiques dan Academie d’Arts Julien, Paris, Prancis.
Selain berupa tenun sutera, motif olahan baru itu juga dipindahkan menjadi motif cetak tangan (handmade printing) di atas sifon dan sutera. Pada 2009, ISBSU memperkenalkan kain tenun bermotif pinawetengan, pinatembega, dan pinabia lewat pergelaran karya Thomas Sigar “Lost Treasure of Minahasa”.
Lantas, apa yang menjadi hambatan Thomas untuk mengembalikan kain Minahasa?
Menurut Thomas, penenunan yang tinggi ditambah masuknya agama nasrani pada abad ke-19 —yang menganggap motif-motif kain Minahasa kuno menyimbolkan keberhalaan— menjadi penyebab lenyapnya kain tenun Minahasa sejak 200 tahun yang lalu.
“Kita bukannya mau memopulerkan keberhalaan, adat istiadat turun temurun yang kita pertahankan. Maksud kita mulia, ingin memberi identitas kepada suku Minahasa dimulai dari kain,” ujar Thomas yang sejak 1997 mengembangkan warisan budaya Indonesia ke dalam bentuk fesyen.
Motif patola menjadi highlight pergelaran “The Enchanting Culture of Minahasa”. Ragam hias itu hadir dalam bentuk komposisi berulang dan teratur mirip sisi ular atau ditata meliuk mengikuti gerak binatang melata, baik di atas kain tenun sutera maupun sebagai motif corak cetak tangan di atas sutera dan sifon.
Untuk menggambarkan pengaruh kain India pada kain tenun Minahasa olahan baru ini, Thomas Sigar menggarap kain-kainnya menjadi busana bergaya India, yang dicampur pengaruh animisme dengan dominasi warna cokelat kayu, hijau pupus dedaunan, dan abu-abu batu-batuan.
Menampilkan 25 busana wanita dan pria dalam gaya sehari-hari, koleksi dibuka dengan 13 rancangan busana wanita dan pria mengggunakan kaiwu bermotif patola, pinawetengan, pinatikan, dan tembegu. Rancangan itu mendapat sentuhan batu-batuan pada beberapa
bagian untuk memperindah koleksi.
“Sebagai desainer saya mengangkat motif yang bisa dibuat dalam bentuk kain, motif tangan, dan bisa dipakai untuk berbagai suasana. Jadi ada sedikit ready-to-wear, tren,” tutupnya.
Pergelaran diakhiri rancangan puncak berhias bulu-bulu burung asli, yang diikuti prosesi tari tradisional yang menampilkabn budaya Minahasa dari berbagai aspek.
(Editor Jeffry Pay)