Tantangan dan Langkah Tanggap di Sektor Pendidikan Pasca Era Pandemi Covid-19


Tantangan dan Langkah Tanggap di Sektor Pendidikan Pasca Era Pandemi Covid-19

Penulis: Muh. Hasan Basri, S.Pd., M.Hum
(Dosen Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Univ. Sam Ratulangi)

MASA-MASA setelah pandemic Covid-19 tentunya merupakan waktu yang banyak dinanti oleh semua kalangan. Setelah kurang lebih dua tahun hidup dalam ketidakpastian, kini saatnya kembali memulai hidup yang baru, mulai menata kembali rencana-rencana yang tertunda. Namun, era pasca Covid-19 ini tentunya meninggalkan banyak pekerjaan rumah di semua sektor kehidupan. Salah satunya adalah sektor pendidikan yang sangat dituntut untuk bisa bertransformasi secara cepat mengejar banyak sekali ketertinggalan dalam hal belajar mengajar. Data dari UNESCO menyebutkan ada sekitar 1,5 milyar anak sekolah di dunia yang pembelajarannya terhambat karena penutupan sekolah. Lalu apa yang harus para pendidik lakukan untuk segera menormalisasi keadaan ini?
Keadaan dunia pendidikan sebelum pandemic Covid-19 masih banyak membutuhkan perhatian. Salah satunya karena belum meratanya kualitas pendidikan di seluruh daerah. Hal ini semakin diperparah oleh datangnya wabah virus yang menyerang Indoneisa di awal tahun 2020 ini. Dibutuhkan langkah yang nyata oleh segenap praktisi pendidikan untuk segera mencari solusi cepat dan tepat agar bisa setidaknya kembali ke roda yang normal dalam melangkah lebih jauh di dunia pendidikan. Dunia memang tidak bisa kembali lagi seperti sedia kala, tapi tidak melakukan apa-apa juga bukan sebuah solusi. Pada artikel ini, penulis mencoba memaparkan langkah-langkah strategis apa yang bisa dilakukan untuk membuat dunia pendidikan di dunia, terkhusus di Indonesia, kembali menjadi normal.
Tentunya tidak hanya para pendidik, tapi dibutuhkan juga bantuan nyata dari para pemangku kebijakan untuk bersama-sama menata kembali sector pendidikan ini. Tidak cukup hanya dengan membuka kembali gerbang sekolah dan menyambut para siswa kembali datang belajar tapi jauh daripada itu dibutuhkan memberi dukungan kepada siswa yang sudah jauh tertinggal dan kembali menyesuaikan diri dengan keadaan terbaru, tidak hanya dari segi kognitif tapi tentunya dari segi psikologis yang tentu juga terkana imbas dari pembelajaran jarak jauh yang banyak diterapkan di masa pandemi kemarin.
Salah satu yang penulis temui cukup berdampak adalah “attitude” para siswa di kelas. Pembelajaran jarak jauh mungkin saja masih menolong siswa dalam hal hard skill mereka tapi tidak dengan soft skill mereka. Begitu kembali bersekolah, para siswa terlihat cenderung berperilaku kurang sopan dibanding para siswa yang ada sebelum pandemi. Tentu tidak bisa menyalahkan siswa itu secara menyeluruh, namun keadaan sekolah jarak jauh membuat fungsi pendidik dari para guru tidak maksimal. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa tugas guru tidak hanya membekali siswa dengan keilmuan, tapi juga menyiapkan siswa yang punya nilai kesopanan, keramahan, dan rasa hormat di masyarakat.
Hal tersebut tentu harus menjadi konsern bersama oleh para praktisi pendidikan. Bahwa membangun kembali rasa kepekaan siswa terhadap kehidupan sosial itu penting sehingga dibutuhkan para pendidik tidak hanya fokus mengejar ketertinggalan siswa dari segi kognitif tapi juga harus kembali mengasa soft skill dari siswa agar kembali tajam. Menyelipkan pemahaman soft skill saat pembelajaran sangatlah penting untuk dilakukan oleh para pengajar. Dua tahun tidak hadir di sekolah, terutama bagi siswa yang menuju jenjang baru saat pandemic tiba. Siswa kelas 6 SD yang saat akan masuk sekolah pandemi terjadi dan baru bisa kembali ke sekolah dua tahun kemudian saat iya sudah ada di kelas 2 SMP. Psikologis belajar di SD tentu berbeda dengan psikologis belajar di SMP sehingga siswa menjadi kaget dan akhirnya bertingkah kurang baik dalam merespon ketidakmampuannya beradaptasi. Sekali lagi, guru dan para pendidik, bahkan juga orang tua punya peran yang sangat krusial di sini. Bagaimana kita mengajarkan nilai-nilai kesopanan dan sosial kepada para siswa.
Selain masalah di atas, salah satu yang tidak luput juga adalah tidak siapnya siswa dengan kurikulum yang mereka jumpai di sekolah. Tentunya kita tidak bisa memperlakukan siswa layaknya siswa-siswa yang ada di sekolah sebelum pandemi. Para siswa tidak harus dengan cepat menguasai capaian belajar yang tertuang di kurikukulum, silabus, dan RPS para pengajar. Para pendidik diharapkan bisa lebih sabar dan tidak memaksakan capaian pembelajar harus dengan cepat dipenuhi siswa. Fase yang lambat bukan hal yang buruk namun sebuah langkah yang cukup cerdas untuk diambil oleh guru. Sebuah artikel di worldbank.org mengatakan bahwa siswa membutuhkan banyak reinforcement bahkan remedial untuk bisa kembali pada jalur sebagaimana mestinya. Kurangi target belajar, lakukan fase lebih lambat, ulangi materi perlahan, dan terus memonitor perkembangan siswa.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, tidak hanya para pendidik tapi juga dibutuhkan kerja nyata dari semua yang berkecimpung di dunia pendidikan untuk ikut andil dalam perbaikan pendidikan pasca pandemi Covid-19. Satu hal yang sangat fundamental dilakukan adalah menyiapkan para pendidik dengan kecakapan digital agar supaya para pendidik bisa memasukkan teknologi dalam pembelajaran guna untuk mempercepat pulihnya pembelajaran.
Karena tidak semua pendidik punya kemampuan dalam mengkolaborasikan teknologi dengan mata pelajaran yang mereka ampu, dibutuhkan pelatihan khusus untuk mempersiapkan para pendidik dengan metode pembelajaran tersebut. Diharapkan dengan langkah ini, para pendidik bisa dengan sangat terbantu kembali tampil prima baik dari segi pedadogi tapi juga dari segi persiapan materi ajar yang dapat dengan cepat dipahami oleh para siswa. Kira tahu bersama bahwa selama masa pendemi ini siswa lebih dekat dengan penggunaan gadget dalam pembelajaran sehingga diharapkan dengan adanya metode pengajaran berbasis teknologi, mereka bisa lebih cepat beradaptasi ke arah yang lebih positif. (***)

 

Berita Terkait

Top