Program Makan Bergizi Gratis: Membangun Dampak Nyata di Sulawesi Utara

Oleh: Nixon Rundengan
(Aktivis dan Pemerhati Kebijakan Publik, Mantan Aktivis Mahasiswa 1998, Ketua TKN Prabowo-Gibran PIJAR Indonesia Sulawesi Utara)
Pendahuluan
Program makan bergizi gratis yang diinisiasi oleh pemerintahan Prabowo-Gibran merupakan langkah strategis untuk mengurangi angka stunting di Indonesia, yang masih menjadi salah satu tantangan besar pembangunan manusia. Di Sulawesi Utara, program ini berpotensi besar untuk mendukung tumbuh kembang anak dan memberdayakan sektor ekonomi lokal. Namun, seperti kebijakan publik lainnya, program ini memerlukan perencanaan dan implementasi yang matang agar memberikan dampak yang signifikan.
Sebagai Ketua TKN Prabowo-Gibran PIJAR Indonesia Sulawesi Utara, saya menyambut baik kebijakan ini. Namun, sebagai seorang pemerhati kebijakan publik, saya melihat beberapa tantangan utama yang perlu diatasi, mulai dari ekonomi mikro dan makro, tantangan logistik di daerah terpencil, hingga manajemen anggaran yang lebih realistis. Artikel ini mengupas kritik, solusi, dan dampak potensial dari program ini secara mendalam.
Analisis Ekonomi Mikro dan Makro
Secara ekonomi mikro, anggaran Rp10.000 per anak per hari yang dirancang pemerintah masih kurang untuk memenuhi kebutuhan gizi seimbang, terutama di daerah seperti Sulawesi Utara yang memiliki harga bahan pangan lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Studi harga pangan lokal menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan gizi dasar—termasuk protein, vitamin, dan mineral—diperlukan anggaran minimal Rp15.000 per anak per hari.
Dari sisi ekonomi makro, program ini memiliki potensi besar untuk menggerakkan perekonomian lokal jika dilakukan dengan pendekatan yang benar. Sulawesi Utara kaya akan hasil agrikultur dan perikanan, seperti beras, jagung, ikan, dan sayuran. Namun, tanpa pengaturan pengadaan yang mendukung pelaku ekonomi lokal, program ini berisiko memperbesar ketimpangan ekonomi atau bahkan memunculkan ketergantungan pada pemasok besar dari luar daerah.
Solusi:
1. Optimalisasi Sumber Lokal: Pemerintah harus memastikan bahwa minimal 70% bahan makanan berasal dari petani, nelayan, dan UMKM lokal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
2. Revisi Anggaran: Kenaikan anggaran menjadi Rp18.000–Rp20.000 per anak per hari harus dipertimbangkan untuk memenuhi kebutuhan gizi sekaligus mendukung rantai pasok lokal.
3. Kemitraan dengan UMKM: Melibatkan koperasi lokal untuk pengelolaan pengadaan dan distribusi makanan dapat menjadi solusi yang memberdayakan masyarakat setempat.
Tantangan Logistik di Daerah Terpencil
Sulawesi Utara memiliki tantangan geografis yang signifikan, terutama untuk wilayah kepulauan seperti Sangihe, Talaud, dan Sitaro. Beberapa tantangan utama meliputi:
Biaya transportasi tinggi: Distribusi bahan makanan memerlukan biaya yang besar, terutama karena jarak yang jauh dan kondisi geografis yang sulit.
Kerusakan bahan makanan: Tanpa fasilitas pendingin, bahan makanan seperti ikan dan sayuran berisiko rusak sebelum tiba di lokasi.
Keterlambatan pengiriman: Kondisi cuaca buruk, terutama di musim hujan, dapat memperlambat distribusi makanan, yang berdampak pada kualitas layanan program.
Solusi:
1. Desentralisasi Dapur: Membangun dapur umum berbasis komunitas di tingkat desa atau kelurahan untuk mengurangi kebutuhan transportasi jarak jauh.
2. Peningkatan Infrastruktur: Pemerintah perlu menyediakan cold storage dan kapal logistik berpendingin di wilayah strategis untuk memastikan bahan makanan tetap segar.
3. Teknologi Pemantauan: Sistem berbasis digital untuk melacak distribusi makanan dapat membantu mencegah pemborosan dan memastikan efisiensi.
Upah Pekerja: Keadilan bagi Wilayah Terpencil
Keberhasilan program ini juga bergantung pada tenaga kerja yang menjalankan dapur umum. Sayangnya, pekerja dapur di daerah terpencil sering kali menerima upah di bawah standar. Dengan UMK Manado tahun 2025 sebesar Rp3.585.000, pekerja di wilayah seperti Talaud atau Sitaro membutuhkan upah harian sekitar Rp100.000–Rp150.000 untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Solusi:
1. Insentif Daerah Terpencil: Pemerintah harus menyediakan insentif khusus bagi tenaga kerja di wilayah terpencil untuk menjamin kesejahteraan mereka.
2. Pelatihan Masyarakat Lokal: Memberikan pelatihan kepada masyarakat setempat untuk mengelola dapur umum dapat menekan biaya operasional sekaligus memberdayakan penduduk lokal.
3. Pengawasan Transparan: Sistem pembayaran harus transparan untuk mencegah penyimpangan anggaran.
Manajemen Anggaran yang Realistis
Anggaran saat ini sebesar Rp10.000 per anak per hari tidak mencakup seluruh komponen biaya yang diperlukan. Jika menghitung makanan, upah tenaga kerja, transportasi, dan logistik, anggaran realistis berada di kisaran Rp18.000–Rp20.000 per anak per hari.
Rincian Anggaran Realistis:
Makanan: Rp12.000 per anak per hari
Upah pekerja: Rp3.000 per anak per hari
Transportasi dan logistik: Rp3.000–Rp5.000 per anak per hari
Tanpa penyesuaian anggaran ini, program berisiko tidak berjalan optimal atau bahkan gagal memberikan dampak signifikan.
Dampak Jangka Panjang
Jika dirancang dan dilaksanakan dengan baik, program ini dapat:
1. Menurunkan angka stunting: Memastikan generasi muda tumbuh sehat dan cerdas.
2. Mendorong ketahanan pangan: Dengan memberdayakan petani dan nelayan lokal.
3. Membuka lapangan kerja: Di sektor dapur umum, logistik, dan pengelolaan program.
4. Meningkatkan ekonomi daerah: Dengan perputaran ekonomi berbasis lokal.
Sebagai Ketua TKN Prabowo-Gibran PIJAR Indonesia Sulawesi Utara, saya berkomitmen untuk mengawal program ini agar memberikan dampak nyata. Pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama untuk memastikan program ini berhasil, terutama di daerah dengan tantangan geografis dan ekonomi seperti Sulawesi Utara.
Penutup
Program makan bergizi gratis adalah langkah progresif yang membutuhkan perbaikan agar benar-benar memberikan manfaat. Sulawesi Utara memiliki potensi untuk menjadi model implementasi program ini jika pemerintah mampu mengatasi tantangan lokal dan berinvestasi dalam infrastruktur, logistik, dan sumber daya manusia.
Sebagai pemerhati kebijakan publik, saya mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengawal program ini. Mari kita wujudkan Indonesia yang lebih sehat, kuat, dan berdaya melalui kebijakan yang berorientasi pada kebutuhan rakyat. (**)