Pemindahan Patung Sam Ratulangi di Ranotana: Perlukah Melibatkan Publik?
Oleh : Dr. Ir Dwight Mooddy Rondonuwu,ST,MT
(Tim Ahli Cagar Budaya Sulawesi Utara, Dosen Arsitektur Fakultas Teknik UNSRAT)
Keputusan pemerintah untuk memindahkan patung Dr. Sam Ratulangi dari Ranotana ke Bandara Sam Ratulangi telah memantik diskusi hangat bahkan polemik di tengah masyarakat Manado. Sebagai simbol sejarah dan identitas lokal, patung ini telah lama menjadi penanda visual dan emosional yang kuat bagi warga kota. Namun, pemindahannya tanpa konsultasi publik menimbulkan pertanyaan: sejauh mana pelibatan masyarakat diperlukan dalam keputusan yang berdampak pada warisan budaya bersama ?
Simbol Identitas yang Bermakna
Dr. Sam Ratulangi adalah tokoh nasional yang dikenal dengan filosofi hidupnya, “Sitou Timou Tumou Tou” (Manusia hidup untuk memanusiakan orang lain). Patung setinggi 5 meter ini, berdiri sekitar tahun 1970 di kawasan strategis kota Manado, tidak hanya menjadi monumen fisik, tetapi juga bagian integral dari identitas Kota Manado. Menurut teori sense of place yang dikemukakan oleh Yi-Fu Tuan dalam bukunya Space and Place: The Perspective of Experience (1977), sebuah tempat memiliki dimensi emosional dan historis yang membentuk identitas komunitasnya. Lokasi asli patung di perempatan jalan Sam Ratulangi Ranotana, tidak hanya menjadi pusat interaksi masyarakat, tetapi juga menghubungkan jalur strategis yang mengarah ke pusat Kota Manado dan wilayah Minahasa. Ini menjadikannya ruang yang ideal untuk menjaga ingatan kolektif tentang perjuangan Dr. Sam Ratulangi. Pemindahan patung ke kawasan Bandara Sam Ratulangi dinilai menghapus makna historis tersebut. Bandara, meski menyandang nama besar Sam Ratulangi, lebih merepresentasikan gerbang modernitas dan globalisasi daripada ruang refleksi sejarah lokal. Dengan demikian, memindahkan patung ke lokasi ini justru mengaburkan nilai filosofis yang terkandung dalam monumen tersebut.
Mengapa Pelibatan Publik Penting?
Pelibatan publik dalam keputusan terkait warisan budaya bukan hanya soal formalitas, tetapi juga soal legitimasi. Menurut Sherry Arnstein dalam teorinya tentang ladder of participation, pelibatan publik yang ideal adalah yang memungkinkan masyarakat menjadi mitra aktif dalam pengambilan keputusan, bukan sekadar penerima informasi. Minimnya konsultasi publik dalam pemindahan patung ini mencerminkan kurangnya penghormatan terhadap prinsip inclusive governance, di mana kebijakan publik seharusnya melibatkan semua pemangku kepentingan. Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian, dan Evaluasi Pembangunan Daerah juga menyatakan bahwa masyarakat memiliki hak untuk terlibat dalam proses perencanaan kebijakan (Pasal 50). Dengan demikian, pendapat masyarakat lokal, akademisi, sejarawan, dan komunitas budaya menjadi faktor penting untuk menjaga keselarasan antara kebijakan pemerintah dan aspirasi masyarakat. Melibatkan publik bukan hanya memperkuat legitimasi keputusan, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan yang diambil mencerminkan kebutuhan, harapan, dan nilai-nilai lokal. Transparansi dan pelibatan masyarakat yang aktif dalam keputusan strategis seperti ini tidak hanya memberikan legitimasi sosial, tetapi juga menjaga harmoni antara modernitas dan tradisi.
Pendekatan Konservasi Warisan Budaya
Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, patung Dr. Sam Ratulangi seharusnya telah didaftarkan serta tercatat pada dinas kebudayaan karena nilai sejarahnya yang signifikan dan teridentifikasi sebagai Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB). Bernard Feilden, seorang ahli konservasi warisan budaya, dalam bukunya Conservation of Historic Buildings menekankan pentingnya mempertahankan konteks asli suatu objek untuk menjaga makna historis dan emosionalnya. Dengan memindahkan patung ke bandara tanpa dasar yang jelas, ada risiko menghilangkan nilai autentik yang melekat pada lokasi asli patung. Langkah ini bertentangan dengan prinsip heritage conservation, yang menekankan pentingnya melibatkan komunitas lokal dalam pelestarian simbol-simbol budaya.
Efek Psikologis dan Sosial
Harus diingat bahwa pemindahan patung dari lokasi aslinya juga dapat membawa dampak emosional dan sosial bagi masyarakat. Scannell dan Gifford, dalam teori place attachment, menjelaskan bahwa masyarakat memiliki keterikatan emosional dengan tempat tertentu, terutama yang memiliki makna simbolis. Kehilangan elemen penting seperti patung ini dapat memicu rasa kehilangan kolektif dan melemahkan identitas budaya lokal. Selain itu, pelibatan masyarakat dapat memperkuat rasa memiliki terhadap simbol budaya tersebut. Tanpa proses partisipasi yang memadai, keputusan sepihak seperti ini justru berpotensi menimbulkan konflik sosial dan kekecewaan yang mendalam.
Solusi Kompromi
Pemindahan patung ke Bandara Sam Ratulangi memang dapat dilihat sebagai upaya pemerintah untuk memperkenalkan Dr. Sam Ratulangi kepada wisatawan dan masyarakat yang melintas di gerbang utama Sulawesi Utara. Namun, ada alternatif solusi yang lebih bijak dan mempertimbangkan nilai historis patung tersebut. Salah satu opsi adalah mengembalikan patung asli ke lokasi asalnya di Ranotana, dengan memperindah kawasan tersebut agar lebih fungsional dan menarik. Sementara itu, replika patung Sam Ratulangi dapat dibuat dan ditempatkan di kawasan bandara. Pendekatan ini tidak hanya menghormati nilai sejarah patung asli, tetapi juga memenuhi tujuan pemerintah untuk mempromosikan tokoh nasional di ruang publik modern. Teori urban design dari Kevin Lynch, sebagaimana dijelaskan dalam The Image of the City, menegaskan bahwa elemen visual seperti patung memainkan peran penting dalam menciptakan orientasi kota dan memperkuat ingatan kolektif masyarakat. Dengan solusi kompromi ini, kedua lokasi dapat tetap memiliki simbol Sam Ratulangi yang bermakna.
Transparansi dan Partisipasi Bukan Sekadar Formalitas
Pemindahan patung Dr. Sam Ratulangi dari Ranotana tanpa keterlibatan masyarakat bukan hanya menyoroti celah dalam proses pengambilan keputusan, tetapi juga menjadi cerminan bagaimana warisan budaya sering kali diperlakukan sebagai aset material semata. Di era ketika demokrasi menuntut keterbukaan dan partisipasi aktif, keputusan sepihak semacam ini terasa seperti langkah mundur yang meminggirkan hak masyarakat untuk turut menjaga identitas kolektifnya. Monumen seperti patung Dr. Sam Ratulangi bukan sekadar tumpukan beton atau logam, tetapi penanda yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, menghadirkan ingatan kolektif yang membentuk siapa kita sebagai komunitas. Ketika keputusan besar seperti ini diambil tanpa suara masyarakat, kita kehilangan lebih dari sekadar lokasi patung kita kehilangan momen untuk memperkuat rasa memiliki dan kebanggaan terhadap sejarah kita sendiri.
Pemerintah dan pemangku kebijakan harus menyadari bahwa melibatkan masyarakat bukan hanya soal prosedur administratif. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai lokal dan demokrasi itu sendiri. Transparansi dan partisipasi bukan sekadar formalitas, melainkan kebutuhan mendesak dalam membangun kebijakan yang berkelanjutan dan bermakna. Tanpa itu, keputusan yang tampak sederhana seperti pemindahan patung dapat berubah menjadi simbol alienasi dan ketidakadilan bagi mereka yang paling terkena dampaknya.
Keputusan terkait warisan budaya harus melampaui kalkulasi praktis semata. Mari jadikan pemindahan ini bukan sebagai awal dari hilangnya makna historis, tetapi sebagai pelajaran untuk lebih bijak dan inklusif di masa depan. Sebab, setiap keputusan yang melibatkan simbol identitas tidak hanya memengaruhi tempat fisiknya, tetapi juga jiwa dari sebuah komunitas. (**)