Menyigi Ruang Ekspresi dan Kreativitas Anak Muda di Manado lewat Festival Film

Oleh: Alwin Firdaus Wallidaeny
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi)
Dewasa ini, anak muda memiliki berbagai cara untuk mengekspresikan diri dalam berbagai bentuk budaya populer, baik melalui seni, musik, hingga film. Di tengah arus globalisasi yang sudah menjadi keseharian, mereka menghadapi tantangan untuk tetap mempertahankan identitas budaya lokal sambil juga beradaptasi dengan tren internasional. Budaya populer dalam bentuk visual seperti film merupakan komoditas sehari-hari di kalangan pemuda termasuk di Manado. Namun demikian, ruang produksi dan ekosistemnya secara lokal masih terbatas.
Festival film menjadi salah satu ruang yang dapat memberikan wadah bagi anak muda Manado untuk menyalurkan kreativitas mereka. Dengan keterbatasan industri film di daerah, Festival film hadir sebagai alternatif yang memungkinkan mereka berkarya secara mandiri. Melalui film, mereka tidak hanya menceritakan kisah-kisah lokal tetapi juga menyuarakan isu-isu yang mereka hadapi dengan menggunakan bahasa mereka sendiri.
Dengan demikian berangkat dari potensi tersebut, kelas Studi Drama dan Film dari prodi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi menyelenggarakan sebuah festival film yang bertajuk Kawanua Short Film Festival. Meski beranjak dari tugas akhir, semangat yang dikobarkan dalam festival tersebut bukan sekadar lomba atau ajang kompetisi belaka, sesuai namanya, festival, berarti sebuah perayaan atau hajatan kreativitas yang menggunakan medium film. Hal tersebut diupayakan untuk mendorong kreativitas anak muda di kampus untuk berekspresi menggunakan bahasa visual.
Anak Muda, Identitas, dan Budaya Populer
Semarak perfilman di Manado masih menjadi percikan di sana-sini. Padahal, potensi kreativitas dari anak mudanya bisa dipastikan begitu besar. Mereka akhirnya bergantung pada media sosial untuk mengekspresikan identitas dan menyuarakan isu sosial yang mereka hadapi. Tanpa mendiskreditkan dampak positif dari media sosial, namun potensi kreativitas pemuda di Manado perlu ditunjang dengan ruang yang lebih dekat.
Film merupakan menjadi salah satu cara paling efektif bagi anak muda untuk memvisualisasikan gagasan dan emosi mereka. Dalam Festival Film Pendek Kawanua, film-film yang ditampilkan merupakan film-film hasil saduran dari karya-karya sastra yang sohor seperti, drama dari Henrik Ibsen yang berjudul A Doll’s House atau film Mean Girls yang merupakan iterasi modern dari Emma karya Jane Austen. Mereka menjadikan film sebagai sarana untuk menyuarakan permasalahan sosial, mulai dari kecemasan identitas, gap generasi, hingga kehidupan anak muda di era digital.
Salah satu ciri khas film-film yang dibuat oleh para anak muda ini adalah keberaniannya dalam mengeksplorasi realitas lokal dengan cara yang autentik. Film-film pendek yang diproduksi mereka meski mengulang narasi yang sama dengan sumbernya sendiri namun mengangkat cerita-cerita yang dekat dengan kehidupan sehari-hari di manado, seperti konflik antara tradisi dan modernitas, serta peran keluarga dalam masyarakat Manado. Ini menunjukkan bahwa film bukan sekadar hiburan, tetapi juga refleksi dari dinamika sosial yang sedang berlangsung.
Pam Nilan seorang peneliti dari Inggris yang menaruh perhatian besar terhadap studi pemuda Indonesia, dalam berbagai penelitiannya menyoroti cara pemuda Indonesia membangun identitas mereka. Ia berpendapat bahwa pemuda membangun identitasnya melalui interaksi dengan budaya populer dan komunitas sosial. Identitas ini terbentuk melalui kombinasi pengaruh global dan lokal, menciptakan karakteristik unik dalam ekspresi budaya anak muda. Film, sebagai bagian dari budaya populer, menjadi salah satu media yang memungkinkan mereka untuk mengekspresikan diri dan memperkuat identitas kolektif.
Anak muda di Manado membutuhkan ruang di mana mereka dapat bereksperimen dengan narasi dan estetika yang mencerminkan pengalaman mereka sendiri. Melalui Festival Film Pendek Kawanua, mereka menggambarkan realitas sosial mereka sendiri, seperti tantangan dalam kehidupan perkotaan, hubungan antarbudaya, dan nilai-nilai lokal yang mulai berubah. Hal ini sejalan dengan gagasan Nilan bahwa pemuda menggunakan budaya populer sebagai cara untuk mendefinisikan posisi mereka dalam masyarakat.
Namun, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana festival ini dapat bertahan dalam ekosistem kreatif yang masih terbatas. Dukungan dari masyarakat, pemerintah, dan institusi pendidikan sangat diperlukan agar festival film dapat terus berkembang, berlipat ganda, dan memberikan kontribusi yang lebih besar dalam pembentukan budaya populer di Manado.
Dampak Festival Film terhadap Pemuda dan Masyarakat
Festival film di Manado tidak hanya berperan sebagai wadah kreatif, tetapi juga sebagai alat untuk membangun solidaritas di antara pemuda. Bila diadakan secara berkala dan ditopang dengan bermacam lokakarya, diskusi film, serta proyek kolaboratif antar komunitas, mereka dapat menciptakan lingkungan yang mendukung inovasi dan menyuburkan kreativitas. Ini sesuai dengan pandangan Pam Nilan bahwa komunitas pemuda merupakan elemen penting dalam pembentukan identitas, karena memungkinkan mereka untuk berbagi pengalaman dan memperkuat jaringan sosial.
Selain itu, komunitas film juga berkontribusi terhadap sektor ekonomi kreatif di Manado. Melipat gandakan festival film lokal, tidak hanya menyemai sineas muda tetapi juga wisatawan yang ingin mengenal lebih jauh tentang budaya dan kehidupan di Manado. Dengan semakin berkembangnya industri kreatif, hal ini memiliki potensi untuk menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang mendorong pertumbuhan daerah.
Namun, masih banyak tantangan yang harus dihadapi, terutama dalam hal dukungan finansial dan kebijakan yang mendukung ekosistem film independen. Jika pemerintah dan lembaga budaya lebih aktif dalam memberikan dukungan, komunitas film di Manado bisa semakin berkembang dan berperan lebih besar dalam membentuk kesadaran budaya di kalangan pemuda.
Komunitas film di Manado telah menjadi salah satu wadah utama bagi pemuda untuk mengekspresikan identitas dan pandangan mereka tentang kehidupan. Dengan memanfaatkan film sebagai medium, mereka tidak hanya menciptakan karya yang bermakna tetapi juga membangun kesadaran sosial dan budaya di kalangan generasi muda. Hal ini sejalan dengan pemikiran Pam Nilan bahwa budaya populer, termasuk film, merupakan alat yang digunakan pemuda untuk memahami dan menegosiasikan identitas mereka dalam masyarakat.
Dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan agar komunitas ini dapat terus berkembang. Pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat perlu memberikan perhatian lebih terhadap potensi industri film independen di daerah. Selain itu, penguatan jaringan dengan komunitas film di daerah lain di Indonesia juga bisa menjadi langkah strategis untuk memperkaya perspektif dan peluang kolaborasi.
Dengan semakin terbukanya akses terhadap teknologi dan platform distribusi film digital, berkembangnya ekosistem film di Manado memiliki peluang besar untuk membawa cerita dan budaya lokal ke tingkat nasional maupun internasional. Dengan dukungan yang tepat, ekosistem film dapat terus menjadi bagian penting dalam dinamika budaya populer di Manado.