KAKSBG dan GPS Apresiasi Hasil Putusan Banding PT Manado Terkait Kasus Kekerasan Seksual di Minut 


MINUT, CahayaManado.com–Koalisi Anti Kekerasan Seksual Berbasis Gender (KAKSBG) dan Gerakan Perempuan Sulut (GPS) mengapresiasi hasil Putusan Banding Pengadilan Tinggi Manado terkait kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak Di Kabupaten Minahasa Utara.

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Manado yang menangani perkara Nomor 130/PID/2024/PT MND, dikeluarkan pada Kamis 21 November 2024, meskipun belum sesuai tuntutan adalah pidana maksimal
15 tahun. Putusan ini mengubah putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Airmadidi perkara Nomor 81/Pid.Sus/2024/PN Arm, dari pidana enam (6) tahun menjadi delapan (8) tahun dan restitusi sebesar Rp.9.072.000 (sembilan juta tujuh puluh dua ribu Rupiah) menjadi Rp.28.429.738 (dua puluh delapan juta empat ratus
dua puluh sembilan ribu tujuh ratus tiga puluh delapan ribu rupiah) sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Serta pidana denda sejumlah Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta Rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

Kamis 14 November 2024 KAKSBG, GPS, dan Aksi Kamisan Manado melakukan aksi damai di depan Pengadilan Tinggi Manado dalam rangka mengawal proses hukum hingga korban mendapatkan keadilan. Massa Aksi juga memberikan cinderamata berupa Palu Keadilan, dan Legal Opinion yang diwakili oleh Koordinator KAKSBG dan penyerahan Amicus Curae dari YLBHI-LBH Manado diwakili oleh staf LBH Manado
kepada Pengadilan Tinggi Manado yang diwakili oleh Humas Pengadilan Tinggi
Manado. Hal tersebut dimaksudkan sebagai bentuk harapan agar PT Manado lebih progresif lagi dan berani menegakkan hukum dan keadilan.

Adapun tuntutan massa aksi antara lain menjatuhkan Sanksi Pidana Maksimal
Kepada Pelaku/Predator Seksual, seluruh Aparat Penegak Hukum meliputi Hakim,
Jaksa, dan Polisi WAJIB Menerapkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) terhadap Kasus Kekerasan Seksual, membuka seluruh identitas pelaku Kekerasan Seksual kepada publik dengan tujuan sebagai pembelajaran kepada masyarakat dan antisipasi agar masyarakat tidak melakukan perbuatan Kekerasan Seksual, seluruh Aparat Penegak Hukum meliputi Hakim, Jaksa, dan Polisi yang menangani, memeriksa, menuntut, dan mengadili perkara Kekerasan Seksual wajib berperspektif korban, terkhususkan untuk Para
Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara Kekerasan Seksual terhadap korban perempuan, wajib menerapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum,
memprioritaskan penanganan hukum pada kasus/perkara Kekerasan Seksual
Berbasis Gender.
Selain melakukan aksi damai, dilakukan juga penggalangan dukungan berupa surat desakan yang dikirim langsung ke Pengadilan Tinggi dan ditembuskan ke lembagalembaga terkait seperti Badan Pengawasan Mahkamah Agung, Kementerian PPPA, Komnas Perempuan, Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak, Komisi Yudisial.
Surat desakan ini disebarkan ke seluruh jaringan KAKSBG, GPS dan Aksi Kamisan
Manado.

Poin penting yang dapat ditarik dari putusan tersebut adalah pertama Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Sependapat dengan Tuntutan Penuntut Umum Kejari Minahasa Utara meskipun sebenarnya ada potensi hukuman maksimal yang bisa diputuskan jika Penuntut Umum menuntut 15 tahun (sesuai dengan UU Perlindungan Anak) atau sekurang-kurangnya 12 tahun (sesuai dengan UU TPKS).

Poin kedua Majelis Hakim Belum Menerapkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual tapi masih menggunakan UU Perlindungan Anak. Menurut Sri Wiyanti Eddyono S.H., LL.M. (HR), Ph.D, ahli Hukum Pidana dari Universitas Gadjah Mada, UU TPKS itu melengkapi UU Perlindungan Anak. Memang UU Perlindungan Anak itu UU Khusus, tetapi UU TPKS lebih UU Khusus lagi karena tidak hanya mengatur hukum materil saja, tetapi hukum formilnya. Jadi jika terjadi kasus
kekerasan seksual (persetubuhan) pada anak memakai UU Perlindangan Anak juncto UU TPKS. Sehingga hak-hak korban bisa terpenuhi secara utuh dan memudahkan APH dalam menghadirkan alat bukti.

Penggunaan dua Undang-Undang seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
pasal 6 huruf C dan KUHP pasal 64 ayat (1) sudah diterapkan di Pengadilan Negeri Mataram (Perkara Nomor 433/Pid.Sus/2023/PN Mtr) dengan korban anak. Hakim Menjatuhkan pidana penjara selama 13 (tiga belas) tahun dan denda sejumlah Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), membayar restitusi kepada Anak korban sebesar Rp6.480.000,00 (enam juta empat ratus delapan puluh ribu rupiah), dan jika
tidak membayar restitusi maka harta bendanya disita dan dilelang oleh Jaksa untuk menutupi besarnya Restitusi yang harus dibayarkan oleh Terdakwa.

Oleh karena itu KAKSBG, GPS dan Aksi Kamisan Manado mendorong penerapan
Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada korban anak di setiap tingkat peradilan. Karena Undang-Undang ini cukup progresif yang bisa memenuhi hak-hak korban, KUHAP selama ini lebih condong kepada hak
tersangka dan terdakwa.

Negara bertanggung jawab mempidanakan dan menuntut pelaku pemerkosaan sebagai pelanggaran HAM berat dan sistematik terhadap perempuan, bentuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan anak perempuan yang dapat berpuncak pada penyiksaan. Di bawah hukum humaniter dan hukum pidana internasional, pemerkosaan dapat menunjuk kepada suatu kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, atau tindakan yang berkaitan dengan genosida
tatkala terdapat unsur-unsur kejahatan lainnya.

Indonesia sudah meratifikasi CEDAW melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Covention on the Elimination of All Form of Discrimination Against
Women) yang menegaskan bahwa negara menjamin kesetaraan gender pada sistem hukum yang berlaku, menghapuskan semua undang-undang yang diskriminasi, dan membentuk pengadilan dan lembaga publik untuk memastikan perlindungan efektif terhadap perempuan. Kemudian diperkuat lagi pada UU No. 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), sebagaimana Pasal 26 “Persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.”
Koalisi juga mendesak Kapolres Minahasa Utara agar segera menangkap 8 terduga pelaku kekerasan seksual yang saat ini masih berkeliaran bebas. Karena dinilai sangat lambat dalam penanganan kasus kekerasan seksual, mengingat sudah 10 bulan kasus ini tidak progres. Selain itu untuk menginformasikan sanksi apa yang dijalani Bripda Yusran Tetedulo saat meninggalkan perkara kekerasan seksual setelah Dumas dari Penasihat Hukum Korban.
Manado, 23 November 2024
Hormat Kami
KAKSBG GPS. (*)

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top