Cerita Pendek: Perempuan di Selembar Kanvas


Oleh: Trisno Soriton

Kuas yang ku pegang masih menari nari di atas kanvas. Bak tarian liar, jari jemariku melukiskan sesuatu. Lukisan potret wajah imajinatif sedang ku selesaikan, sembari memandang senja jingga yang nyaris purna dari atas sebuah bukit. Segelas kopi hitam dan sebatang rokok lintingan yang nyaris habis, menemaniku di senja itu. Sepoi angin perlahan mulai menyapu tubuhku yang kian kurus, kata orang. Dingin. Ku sibak rambut panjangku yang tertiup angin, yang menghalangi pandangan mataku ke arah kanvas.
Kali ini aku mencoba melukis, jauh dari aliran yang selama ini ku geluti. Entah kenapa melukisnya adalah sesuatu yang berdaya magnit kuat. Baru kali ini, aku merasakan dorongan seperti itu.

“Kita pulang yuuk. Sebentar lagi gelap,” ajak teman baik sesama pelukis yang tak jauh dariku.

“Baiklah,” sergahku.

“Lho koq bukan melukis alam senja yang ada di hadapan kita tadi, Pras?” timpal sahabat itu tatkala melihat lukisanku.

“Aku coba melukis wajah seorang perempuan yang semalam melintas dalam mimpiku. Wajahnya cantik. Menjadi idaman setiap lelaki yang memandangnya, termasuk aku, tentunya. Ku coba tuangkan wajah itu dalam lukisan di atas kanvas ini, Jan!” jawabku dengan senyum tipis.

Ku rapihkan peralatan lukisku dan bersiap untuk pulang, seiring matahari yang tenggelam dan menghilang di balik cakrawala.

Berdua, kami pun kembali ke rumah masing masing. Hari menjelang malam. Kota ini masih baru buatku. Aku merantau ke sini untuk mengadu nasib, menjadi seorang pelukis profesional yang karya karyanya dihargai. Apalagi, kota ini dikenal dengan kota seni yang sudah mendunia. Banyak turis yang datang ke kota ini, selain menikmati keindahan alamnya yang indah menawan, juga menikmati keindahan karya karya seninya, termasuk karya seni melukis. Ada puluhan lukisan yang sudah selesai ku buat dan tersimpan rapih di studio kecilku. Rencananya akan ku tawarkan ke beberapa galeri seni lukis di kota ini.

Malam ini, aku bermaksud untuk menuntaskan detail lukisan potret wajah tadi, agar terlihat lebih sempurna nantinya.

“Wajah itu terus menggerogoti alam pikiran dan konsentrasiku untuk melukis tentang alam hari ini. Entah wajah siapa dia sesungguhnya. Aku tak tahu,” gumamku.

Dorongan untuk terus menyelesaikan detail lukisan wajah itu kian kuat. Seperti ada ‘spirit’ yang mendorongku untuk melanjutkan lukisan tadi. Seandainya wajah itu bisa ku miliki satu saat nanti, alangkah bahagianya diriku. Aku terus bergumam bak meracau di malam itu, sembari memandang rembulan penuh, yang tampak dari jendela studioku.

“Baiklah, sepertinya aku akan menyelesaikannya malam ini juga hingga tuntas, agar tak lagi menggerogoti alam pikiranku,” gumamku.

Ku siapkan lagi semua peralatan dan bahan lukisan untuk menyempurnakan lukisan wajah itu. Tak ketinggalan kopi hitam dan beberapa linting rokok, sedikit cemilan, ku siapkan untuk menjadi teman malam ini selama melukis.

Ku pandangi lukisan wajah tadi itu secara rinci. Cukup lama. Mataku terus jelalatan di setiap inci kanvas berlukis wajah itu. Aku terus menatapnya. Ku seruput kopi hitam dalam satu tegukan. Selinting rokok, ku tarik dalam dalam. Kepulan asapnya bak tarian bugil, melekuk dan menari nari di depan kanvas. Terlintas dalam benak bagaimana menumpahkan semua yang ada dalam mimpi kemarin itu, agar benar benar sesuai, nyata dan hidup. Ternyata masih banyak yang harus diperbaiki. Aku semakin menggebu dan bersemangat.

Lagi, ku mainkan jari jemariku di atas kanvas tadi. Begitu mengalir dan terus mengalir. Ku tuangkan segala daya upaya dan kemampuan untuk mewujudkannya. Entah roh apa yang mendorongku untuk merealisasikan niat itu. Satu hal yang ku ingini, adalah lukisan ini selesai sesegera mungkin. Itu saja, pikirku, hingga tak terasa waktu sudah menunjukan hampir tengah malam. Lukisan wajah itu akhirnya tuntas juga, sesuai harapanku.

“Sempurna!” Ujarku bergumam.

Aku tersenyum menatapnya. Menatap potret wajah perempuan hasil lukisanku di atas kanvas. Ia tampak begitu nyata dan hidup, meski lahir hanya dari sebuah imajinasi mimpi. Ku akhiri malam yang mulai gigil itu dalam istirahat indahku. Membiarkan potret wajah dalam lukisan itu terus hidup dan menghidupkan studio kecilku, meski entah siapa.
~~~

Pagi ini, ku ajak Jan, sahabat baik dan sahabat lukisku yang selalu setia menemaniku. Kami mengunjungi satu demi satu galeri seni yang ada di kota ini. Berdua, kami menelusuri setiap sudut kota dengan mobil butut keluaran tahun ’80an, yang menjadi teman setia perjalanan kami. Ku sambangi beberapa galeri, menawarkan lukisan lukisan hasil karyaku, termasuk lukisan potret wajah yang baru saja ku tuntaskan semalam. Beberapa galeri yang ku datangi tampak menolak kehadiran dan penampakanku, termasuk hasil karya karya lukisan yang ku bawa.

“Tak apa,” kata Jan, sahabatku. Seni itu subyektif. Tak semua orang menyukai karya kita, apalagi harus memaksa untuk disukai, lanjut celetuknya.

Menuju siang. Matahari kian terik. Tepat di atas kepala kami. Ku sambangi sebuah galeri besar dan mewah. Tampak para pengunjung, yang kebanyakan warga negara asing sedang melihat, mengamati dan bahkan membeli beberapa lukisan yang terpampang di dalam galeri. Terbayang olehku, jika itu adalah lukisan lukisan karyaku. Tapi, benakku mulai digerogoti rasa minder akibat beberapa penolakan tadi. Tidak kataku. Aku harus percaya dengan karya karyaku sendiri. Kita tak akan pernah berhasil, dan orang tak akan menghargai karya kita, jika kita tak berani melangkah, memulainya dan tampil, gumamku.

Ku tawari semua hasil lukisan yang kubawa hari ini ke galeri besar dan mewah itu. Seorang karyawan menyambut kehadiran kami. Satu demi satu karya karyaku itu ku sodori untuk dilihat, diamati, dan syukur syukur bisa menjadi bagian dari ruang galeri mewah ini, harapku.

Tiba tiba seorang perempuan cantik mendatangi kami. Sejenak ia melihat dan mengamati lukisan lukisan yang ku sodori tadi itu ke salah satu karyawan. Dari informasi karyawan tersebut, perempuan cantik yang sedang berdiri di hadapanku, dan sedang melihat satu demi satu lukisan karyaku itu, adalah pemilik dari galeri mewah ini. Aku tercekat memandangnya. Potret wajah yang ada dalam lukisanku kemarin itu, adalah representasi wajah perempuan itu. Persis sama. Apakah ini sebuah kebetulan, atau mimpi yang menjadi kenyataan, aku tak tahu dan sangat sulit diterima oleh nalarku. Sementara, aku tak pernah bertemu, apalagi mengenal sosok perempuan itu. Perempuan itu pun terkesima melihat potret wajahnya yang tertuang dalam lukisan itu. Kami saling beradu pandang di satu momen, beberapa detik lamanya.

“Saya Mona!” Perempuan itu mulai memperkenalkan diri di hadapan kami.

“Saya Pras. Dan ini sahabatku Jan.”

Aku menyergah dengan cepatnya sembari tersenyum bahagia, menimpali perkenalan perempuan cantik itu. Ia lalu mengajakku ke ruang kerjanya. Masih ditemani Jan. Di ruang kerjanya yang tampak mewah itu, dan dipenuhi dengan lukisan, kami larut dalam pembicaraan panjang. Transaksi pun terjadi di ruangan itu.

“Semua lukisan karya Mas Pras akan menjadi bagian dari galeri ini. Saya suka dengan lukisan lukisan ini yang bernilai seni tinggi, terutama lukisan wajah saya ini. Saya pernah bermimpi satu saat akan ada orang yang bisa melukis wajahku. Dan, hari ini lukisan itu hadir, ada di hadapanku,” ujarnya, seraya memajang lukisan potret wajahnya hasil karyaku itu, di dinding tepat di belakang kursi kerjanya.

Aku masih saja terkesiap dengan peristiwa ini. Terus saja ku pandangi lukisan potret wajah itu dengan sosok perempuan representasi sesungguhnya dari lukisan itu. Imajinasi mimpiku tentang sosok perempuan cantik, kini menjadi kenyataan. Ia hadir, ada dan nyata di hadapanku. Aku tak habis pikir. Seperti sebuah mujizat, gumamku terus menerus.

Sejak pertemuan pertama itu, Mona dan aku semakin dekat. Simbiosis mutualisme di antara kita kian terjalin dan kuat. Lukisan lukisan realis yang ku buat, laku keras di galeri itu. Aku kian bersemangat melahirkan karya karya lukisan bernilai tinggi, dengan bantuan semangat yang terus didorong Mona. Dari galeri ini, namaku perlahan melambung sebagai pelukis yang diperhitungkan.

Kini aku menjadi bagian utuh dari galeri tersebut, pasca menikahi Mona di sebuah kapel indah di Pulau Dewata. Ia perempuan yang luar biasa. Menerimaku apa adanya, pun sebaliknya. Kami kini hidup bersama dalam bahtera rumah tangga yang bahagia. Bersama, kami melahirkan lukisan lukisan cinta yang hidup dan menghidupkan. Nyata dan penuh makna.

“Ah indahnya hidup ini. Cinta telah menembus batas batas nalar manusia. Merontokan tembok tembok ketakutan, rasa tak percaya diri, pesimisme dan skeptisisme. Apalagi jika mengingat, aku hanyalah seorang seniman, yang melukis dari atas kursi roda, sejak sepuluh tahun lalu, oleh sebuah sebab.”

Aku membatin di senja awal Juni yang perlahan purna, ditemani kopi hitam kegemaranku.

Lagi lagi, cinta bekerja dengan caranya sendiri, menembus batas yang manusia pikirkan dan kehendaki, untuk menemukan kesejatiannya. Sebuah imajinasi mimpi, mengejawantahkan dirinya dalam sebuah realitas, oleh sebuah peran keilahian yang penuh misteri.

“Terimakasih Tuhan!” ucapku menembus batas langit.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~Tamat

Catatan: Almarhum Trisno Soriton adalah seorang cerpenis asal Langowan yang mempublikasikan hasil karyanya di laman Facebooknya. 

Berita Terkait

Top