55 Sajak Pilihan ‘Traumatik” Memotret Kisah Perjalanan Sang Penyair Menuju Tanah Kekal

Penulis : Eykel Lasflorest
Pamulang- Jakarta Selatan
Kontak : 08561827332
Jakarta – Buku antologi puisi tunggal “Traumatik” -merupakan buku kumpulan puisi pertama-karya Penyair Pulo Lasman Simanjuntak (63 tahun) diterbitkan pada bln Juli tahun 1997 lalu.
Proses kreatif menulis puisi sehingga menjadi sebuah buku cetak sederhana (belum ada nomor ISBN-red) ini memotret sebuah perjalanan akar kepahitan kehidupan sang.penyair.
Sempat terkapar-terluka berdarah-bahkan nyaris bipolar !
Penulis opini Eykel Lasflorest S, jurnalis muda lulusan Fakultas Hukum Universitas Pamulang (UNPAM) dan seorang guru (sabam) bela diri taekwondo.(Foto : Lasman.S)
Namun, karena pertolongan Tuhan, sang penyair dapat “diangkat” dari bawah kaki-kaki bumi yang.liar dan kejam untuk menuju tanah yang kekal, SORGA.
Sungguh suatu proses pertobatan yang tak dapat ditangkap.oleh (nalar) akal sehat.
Namun, selalu dibungkus dengan iman hidup yang berakar, bertumbuh, dan berbuah.
Proses kreatif terbitnya buku antologi puisi tunggal “Traumatik” ini dimulai pada pertengahan tahun 1997.
Bertemu dan berkonsultasi dengan Penyair R Supriyatin (saat itu beliau PNS Pemda. DKI Jakarta) di sebuah kantor kelurahan bilangan Setia Budi, Jakarta Selatan.
Setelah itu dipertemukan.kepada Penyair Ayid Suyitno PS (saat itu beliau masih menjadi wartawan HU.Berita Buana dan HU.Terbit).
Dalam proses yang tak terlalu panjang “lahirlah” buku antologi puisi tunggal karya Penyair Pulo Lasman Simanjuntak yang berisikan 55 sajak pilihan dengan penerbit CV.Gitakara setebal 60 halaman.
Saat ini buku antologi puisi “Traumatik” telah menjadi koleksi Perpustakaan Nasional RI fi Jln.Salemba Raya, Jakarta Pusat dan Perpustakaan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB.Jassin di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jln.Cikini Raya, Jakarta Pusat.
Berikut petikan tiga sajak dari buku antologi puisi “Traumatik” yang merupakan perjalanan jurnalistik sang penyair ke Singapura dan Malaysia pada bln Desember 1996.lalu.
Sajak
Pulo Lasman Simanjuntak
BANDARA INTERNASIONAL CHANGI
//1
lihatlah pertokoan
siang ini
sudah berdandan
mau tunggu apa lagi
mahluk dungu
jasad makin usang
sepanjang landasan
ditebar permadani batu
tak beri salam tuli
kumpulan kaki-kaki yang payah
2//
percakapan riuh
kulipat rapi dalam kopor
menyedot sepi
kian berlemak
sampai dari jarak begitu dekat
supir airbus
menggosok-gosok jantung
pesawat belum menembus
lapisan kaca
oi, ada bau lonte
kuku-kuku birahi
di sini tanpa beban
sebuah benua dirobek-robek
Singapura, Desember 1996
DARI SINI
ketika tiba
kudaku dicambuk
bulu-bulu
beranda stasiun lugu
makin mengeras
bumimu berlapis-lapis
pacu! ayo!
pacukan kudaku
sarat racun tumbuhan
menuju gurun perang
sampai terkencing
mata uang logam
logikaku terus berlari
berlari
mendaki matahari
di kaki mall yang terbakar
faktur-faktur gemerlap
perjalanan kilas balik
sudah basi
giliran lewat siapa
harus berkemas
dari atas tenda
pencuri kembang gula
ataukah menggilas rakus
roda-roda aspal
tercatat biodata
dengan air tinta merah
aku melirik
tangannya adalah ratusan mercon
siap meledak
dalam saku celana
Johor Baharu, Malaysia, Desember 1996
SAJAK PERJALANAN EPISODE PERTAMA
badai mengamuk
dari mulut sungai
tak tercatat
dalam kitab kehidupan
wajahmu membatu
batasi bibir laut
aku sendiri
bahasa bisu
suara protes
seperti angin berlalu
membujuk ke kancah perang
tak bermimpi
permukiman kumuh
serangga liar yang lapar
orang-orang sudah ditidurkan
di sebuah negeri gaib
pada zaman abad terbalik
masihkah penyair berpolitik,tanya Mr.Asart
sesal dibanting
di trotoar jalan
perkawinan retak
terbentur dinding kapal
Singapura, Desember 1996
Di bawah ini juga diturunkan lima sajak pilihan terbaru lainnya karya Pulo Lasman Simanjuntak
RUMAH SAKIT
tergulir waktu
dari almanak
permainan langka
kalau atau menang
jadi sandera yang hilang
rekaman status
ialah dengkur roh-roh
siapa giliran diinfus
untuk kematian genap
nyanyian mazmur
menggeledah subuh
tertidur renyah
sampai pinggir jendela
kutelantarkan
kicau burung
“gantungkan spermatozoa,” tegasmu
ada tanya curiga
jari-jari karet menari
musik cacat
sempurna sudah
Jakarta, 2021
KRITIS
suara-suara gaib
sepanjang lorong rumah sakit
makin menua
seperti hewan
membenci matahari
setengah hari lingkaran
waktu
salibkan jati diri
sabarlah, pesan perawat rumah sakit
dengan mata lumpuh
begitu banyak perkawinan
menelan bencana
amarah primitif
ditebar di ruang perawatan
sakit ginjal dari pulau sumatera
jadilah angan-angan mandul
dalam status tertulis : biopsy testis !
permainan silang
kesendirian bersalju
Jakarta, 2021
RUMAH PERSUNGUTAN
berangkat dari kesesakan
bukan penderitaan
memanjang
penyakit turunan
saling berdesakan
takut rumah sakit bertingkat
menyebalkan
seribu keluhan didudukkan
selalu saja suara gurun
dipantulkan
mengapa sering ada penyesalan ?
jejak-jejak perempuan terbayang
berputar waktu dibuang
rahim tertutup rapat
sudahlah,
hanya Tuhan yang berperan
sejak masuk dalam kebenaran
hanya firman kini berteman
dari mulai matahari terbenam
sampai bulan memanjang
hanya kukenang-kenang
khayalan tak berkesudahan
Pamulang, 30 April 2021
TANAH PAPUA , KETAKUTANKU TERBUNGKUS LIMA ABAD
perjalanan dimulai
dari sebuah bandara
hiruk pikuk rasa kantuk
terbanglah rajawali
menembus malamhari
perempuan gemulai
bahasa sunyi.
Setelah bersatu
dengan terbitnya matahari pagi
di wilayah paling timur
nusantara tanah Papua
mulailah cerita bertemu
dengan keasingan
di negeri sendiri
oi, selamat datang
di hutan bumi tua papua
tanahku menghijau
dengan siraman air dingin
danau sentani
pucatlah mukaku
dihiasi rambut ikal
sepanjang belum menyentuh
kota jayapura
tiba di Lembah Baliem Wamena
tanpa penghuni
sunyi lagi
mari kita beribadah
sehari saja berdoa
di gereja kota
tak terdengar nyanyian pujian
atau rebana ditabuh
maka kami pun masuk
sebuah hotel tanpa air jernih
lampu-lampu dapat menyala
di hati kami
hanya tergenang bau rawa
perjalanan dilanjutkan
menerobos gunung
bukit meliuk-liuk
mayat diawetkan
Jayapura-Wamena, Maret 2021
MENULIS PUISI SEPANJANG ENAM PULUH TAHUN
menulis puisi
sepanjang enam puluh tahun
jari-jari tanganku milik lansia
tak pernah punya rumah
sepi dari nyanyian bayi
sunyi selalu membuntingi
matahari pagi
kini jadilah aku pengembara
dengan tulang rusuk kanan
masih terluka
untuk pujangga dari pulau sumatera
untuk pewarta tak pernah raih sarjana
menulis puisi sepanjang enam puluh tahun
jari-jari tanganku sukacita
tidur di rumah duka
tak ada salam tuli dikumandangkan berulangkali sambil duduk bertapa
menghadap empat puluh wajah
menyiram bungadengan airmata mengeluarkan suara
dari bawah peti jenazah
kematianmu jadi saksi panjang
kita pernah berkelahi
di gereja tanpa darah
menghapal ratusan ayat-ayat suci
berlari sampai jantungku terbanting
di aspal tikungan jalan
taman kota
menulis puisi sepanjang enam puluh tahun
jari-jari tanganku banjir air hujan
menyantap sop daging ayam
impor dari negeri sial dan dendam
diiringi sirene ambulans kepalsuan
kami pulang penuh kecemasan
Jakarta, Minggu 20 Juni 2021
(***)